Kamis, 29 November 2012

SEJARAH PERJUANGAN GERAKAN SAMIN

SEJARAH PERJUANGAN GERAKAN SAMIN


            Pada periode akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, di Jawa terjadi banyak pergerakan dan pemberontakan yang bersifat mesianistis, baik dalam Islam maupun dalam ajaran asli Jawa.[1] Terlebih karena adanya pengaruh kuat dari ramalan-ramalan yang menyatakan akan datangnya sang Ratu Adil yang akan menyelamatkan orang-orang tertindas dan menjadi pertanda dari suatu perubahan ke arah yang lebih baik yang akan membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Periode tahun tersebut memang merupakan periode tahun yang penuh penderitaan bagi rakyat di Jawa. Eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki pulau ini diperas habis-habisan demi mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi pemerintah kolonial. Kekuasaan pemerintah kolonial yang besar itulah yang membuat rakyat kecil tidak dapat menggunakan tanah-tanah miliknya sendiri untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka, sebab seluruh tanah yang ada di dalam kekuasaan pemerintah merupakan tanah milik pemerintah, rakyat tidak memiliki hak atas apapun yang ada di wilayah kekuasaan pemerintah kolonial itu, seperti yang ada dalam konsep kekuasaan kerajaan-kerajaan Jawa. Sehingga, pemerintah kolonial berhak untuk mengeksploitasi seluruh yang ada di wilayah kekuasaannya baik tenaga maupun sumber daya alam lainnya yang ada di Jawa. Hal inilah yang telah menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat, terlebih juga karena mereka tidak mendapat upah yang tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh keluarganya.
Tekanan demi tekanan baik moral maupun fisik dari pemerintah kolonial ataupun oleh sang modal telah membuat kesabaran sebagian rakyat mencapai puncaknya. Karena itu, muncul sosok-sosok pemimpin yang prihatin dengan keadaan zaman dan ingin melepaskan seluruh penderitaan yang mereka derita selama ini, dengan melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang mereka anggap telah membuat kesengsaraan bagi mereka. Kepemimpinan yang mereka dapat seringkali berasal dari para pemimpin Islam atau pun dari orang yang cukup berpengaruh di pedesaan. Namun, kebanyakan dari gerakan tersebut dianggap hanya sebagai gangguan kecil bagi pemerintah kolonial. Dari berbagai gerakan-gerakan yang ada, gerakan Saminismelah yang dianggap paling menarik. Bahkan, gerakan tersebut masih bertahan hingga sekarang, meski tak segencar dulu.
            Karena menariknya gerakan Samin ini, maka penulis ingin mengangkat suatu tulisan yang bertemakan tentang gerakan Samin. Dalam pembahasannya, penulis akan membahas mengenai siapa pendiri gerakan itu? Apa yang membuatnya sebagai gerakan yang cukup menarik untuk dibahas? Gerakan itu bertujuan untuk apa? Bagaimana perkembangan gerakan tersebut?

Sejarah Gerakan Samin
            Gerakan Saminisme adalah suatu gerakan yang dipelopori oleh Surantiko (Surasantiko) Samin (± 1859-1914). Gerakan tersebut sendiri diambil dari namanya, yakni Samin. Gerakan ini terus berkembang selama tiga puluh tahun lebih di bagian barat Pegunungan Kendeng, diselatan Blora, yang tanahnya kering berkapur dan kurang subur, dimana pemerintah kolonial telah mencoba menggantikan pertanian dengan perkebunan jati. Menurut Denys Lombard, berbeda dengan gerakan lain yang umumnya dilakukan hingga berlumuran darah, gerakan Samin ini tidak meminta korban seorang pun, namun berbekas dalam laporan-laporan resmi yang tebal. Menurutnya, yang menarik adalah bahwa gerakan ini telah berhasil bertahan dan melampaui krisis besar tahun 30-an dan pendudukan Jepang, dan secara tak terduga mundul kembali pada awal Kemerdekaan.[2]
Gerakan ini secara umum bercirikan bahwa pelakunya adalah para petani, daerah geraknya tidak luas dalam arti hanya meliputi beberapa desa saja dan sering terpisah-pisah; artinya tidak ada dukungan atau konsolidasi di antara gerakan-gerakan itu.[3] Salah satu alasan bahwa pada umumnya gerakan dilakukan oleh para petani karena petani merupakan pihak yang paling merasakan penindasan dari suatu kekuasaan, terutama para petani yang tidak memiliki tanah garapan sendiri dan terpaksa harus menjadi buruh tani, yang upah yang mereka terima sulit untuk mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Walaupun ada diantara mereka yang memiliki tanah garapan milik mereka sendiri, tetapi karena adanya modal yang lebih berkuasa maka tanah-tanah yang mereka miliki pada umumnya dirampas oleh pemerintah untuk dijadikan perkebunan atau lahan-lahan yang sekiranya dapat memberikan keuntungan bagi pemerintah. Banyak dari mereka yang menjadi buruh di perkebunan-perkebunan asing atau milik pemerintah  yang hasil pendapatannya sangat sedikit. Perlakuan kepada mereka pun kurang layak dan sering mendapat perlakuan kasar baik dari mandor maupun dari tuan tanah. Sehingga, tingkat kesejahteraan petani terus menurun dan hasil dari keringat mereka tidak bisa mencukupi seluruh kebutuhan hidup diri sendiri apalagi kebutuhan hidup keluarganya.     
Pemimpin gerakan ini adalah Surantiko (Surasantiko) Samin yang lahir di desa kecil Randublatung (sebelah barat Bojonegoro), dan  ia sama sekali bukan petani miskin. Ia memiliki 3 bau tanah atau kira-kira 2,4 ha, suatu jumlah yang tidak sedikit, meskipun terletak di daerah yang kurang subur. Ia tidak pernah ke mana-mana dan konon buta huruf, tetapi mempunyai pengetahuan yang baik tentang wayang. Sebagai putra kedua dari lima lelaki bersaudara, sejak dini ia menganggap dirinya sebagai wujud baru dari tokoh Bima, tokoh kedua dalam keluarga Pandhawa. Ia selalu menjaga jarak dengan Islam dan mulai tahun 1890, bagaikan seorang guru kebatinan, mulai menyiarkan suatu agama baru yang disebut “agama Nabi Adam” (elmu Nabi Adam). Kepada murid-muridnya yang datang dalam jumlah yang terus meningkat (3000 orang pada tahun 1907), ia mengumumkan tibanya suatu era baru yang akan jatuh pada bulan Suro, artinya tanggal 14 Februari 1907, dan akan mengakhiri rezim Belanda, yang digantikan oleh dia sendiri sebagai raja. Sambil menunggu waktunya, ia menganjurkan perlawanan pasif dan menolak membayar pajak. Kontrolir Belanda, yang tahu banyak tentang semua itu, mengamankannya sebelum jatuh tanggal itu dan akhirnya ia dibuang ke Padang, dan meninggal di sana tujuh tahun kemudian. [4]
Menurut Ricklefs, meski mereka menggunaan istilah-istilah Arab, namun mereka sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Islam[5] sama seperti yang sudah diterangkan oleh Lombard. Kepercayaan ini tampaknya juga diilhami oleh ajaran Hindhu-Budha. Kepercayaan ini lebih merupakan suatu kumpulan doktrin-doktrin etika dan agama yang menitikberatkan pada pentingnya kerja pertanian, kekuatan seksual, perlawanan pasif, dan keutamaan keluarga inti, sementara menolak membayar pajak, melaksanakan kerja paksa, atau memanfaatkan sekolah-sekolah pemerintah.[6] Kaum Saminis menegaskan bahwa mereka tidak percaya pada Allah maupun surga karena mereka belum pernah melihatnya, sebaliknya menekankan pentingnya persenggamaan yang diilhami oleh Siwaisme kuno, atau lebih-lebih merupakan kultus Bima yang sudah terbukti keberadaannya pada abad ke-15.[7] Ada beberapa hal yang patut dicatat dalam gerakan ini, yakni bahwa mereka anti kekerasan, rajin, jujur, dan berhasil sebagai petani, serta menghargai sesamanya sederajat, termasuk kaum wanita.[8]
Agama Adam ini sebetulnya mengandung aspek-aspek budaya tani Jawa yang dasarnya adalah pemujaan pada Dewi Kesuburan atau Dewi Ibu. Diyakini bahwa kesatuan antara bumi dan langit menghasilkan kehidupan di dunia ini. Demikian juga halnya kesatuan yang serasi antara suami dan istri dalam ikatan perkawinan akan menghasilkan kedamaian dan kesuburan. Oleh karena itu, orang Samin menghargai perkawinan dan menganggapnya suci serta sangat menjunjung tinggi wanita. Sebagai petani, mereka juga sangat menghargai tanahnya dan petani mendapat penghormatan yang tinggi.[9]
            Gerakan Samin ini sempat membuat khawatir pemerintah Kolonial Belanda. Snouck Hurgronje, penasehat Pemerintah Urusan Bumiputra dan Ahli Islam pada waktu itu yang berpendapat bahwa gerakan Samin adalah gerakan mesianistis yang non-Islam. Gerakan semacam ini tidaklah berbahaya menurut pendapatnya karena dapat dengan cepat ditumpas dengan jalan membuang pemimpin atau penganjurnya.[10] Inilah salah satu sebab kenapa Surantiko Samin diasingkan dan dibuang ke Sumatra.
Meski sang penggagas telah dibuang ke Padang, gerakan ini terus berlanjut, bahkan menjadi lebih besar, terutama di daerah Pati. Di sana seorang bernama Samat telah menggantikan Samin dan mengumumkan datangnya dua ratu adil sekaligus, yang satu dari timur dan yang lain dari barat. Kalau Ratu Adil itu datang, akan tiba suatu masa di mana semua orang akan sama rasa sama rata.[11] Gerakan ini mencapai puncaknya pada tahun 1914, ketika pihak Belanda memungut pajak kepala yang semakin besar.[12] Mereka pada umumnya tidak mau melunasi pajak maupun menjalankan kerja rodi yang dituntut oleh pemerintah kolonial. Mereka juga menolak setiap kebijaksanaan Dinas kehutanan untuk memperluas areal pohon jati (houtvesterijen atau hutan milik negara) atau yang melarang pengambilan kayu bakar seperti lazimnya. Mereka dilaporkan menganjurkan semacam komunisme elementer yang menyatakan bahwa “tanah, air, dan kayu adalah milik semua orang” (lemah pada duwe, banyu pada duwe, kayu pada duwe).[13]  Lebih lanjut, ajaran Samin ini juga diartikan  sebagai Sami-sami (sama-sama) yang bersumber pada dasar persamaan manusia. Mereka menganggap semuanya sebagai saudara (sadulur) dan harus saling tolong-menolong. Mereka juga berpendapat bahwa bumi milik bersama dan untuk dimanfaatkan bersama-sama demi kesejahteraan semuanya atau bisa dikatakan bahwa mereka menganut prinsip“sama rasa sama rata”.[14] Jadi, gerakan Samin secara umum bertujuan untuk mendirikan suatu negara yang tentram yang dijiwai oleh orang-orang asli pribumi dan mengusir para penjajah kulit putih dengan cara yang halus, serta terciptanya masyarakat yang sama rasa sama rata. Sehingga, terciptalah masyarakat yang saling tolong-menolong, bantu-membantu seperti saudara sendiri untuk mendapatkan kesejahteraan secara bersama-sama.
            Memasuki dekade kedua abad ke-20, gerakan Samin semakin meningkat. Tanda-tanda bahwa mereka akan bertindak dengan kekerasan pun mulai nampak. Di Grobogan, orang Samin dibawah pimpinan Surohidin dan Pak Engkrak tidak mau menaati peraturan-peraturan Pemerintah. Sedangkan Pak Karsiyah, salah satu menantu Samin, mengajak Kajen di Pati untuk menentang Pemerintah dan menamakan dirinya Pangeran Sendang Janur. Di desa Larangan, orang-orang Samin menolak membayar pajak, menyerang Kepala Desa dan menantang pasukan Polisi yang datang untuk menghadapi orang-orang itu. Beberapa orang mengalami luka-luka dan para penyerangnya ditangkap dan dipenjarakan di Pati. Dalam bentrokan itu, tidak satu orang pun tewas.[15] Selama periode tersebut, gerakan ini terus berkembang, yakni diantaranya di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan dan yang terbanyak di Tapelan.
            Pada dasarnya, ajaran Samin memiliki kemiripan dengan ajaran Komunis, yakni karena gagasan Saminis yang atheis dan egaliter itu hampir memiliki kesamaan dengan gagasan-gagasan marxis yang sudah mulai menyebar. Meski begitu, agaknya Saminisme tidak dipengaruhi olehnya, sekurang-kurangnya pada tahap pertama.[16]  Karena kemiripan pandangan inilah yang membuat pemerintahan Orde Baru pernah mengirimkan pasukan pada tahun 1967 yang akhirnya menewaskan Mbah Suro. Mbah Suro (1921-1967), merupakan seorang tokoh yang mampu membangkitkan kembali gerakan Samin, meski akhirnya tewas di tangan pasukan TNI pada zaman Orde Baru karena dianggap sebagai seorang komunis.[17]
Jika dilihat secara sepintas, tampaklah bahwa orang Samin menentang Pemerintah Hindia Belanda karena mereka tidak puas terhadap tekanan-tekanan ekonomi yang diakibatkan oleh dijalankannya kebijakan-kebijakan baru oleh pemerintah. Juga terhadap kebijakan terhadap peraturan kehutanan. Penduduk yang semula bebas memanfaatkan dan mengambil hasil hutan itu menjadi terhambat. Selain itu, terjadinya disintegrasi sosial sebagai akibat masuknya pengaruh ekonomi modern kepedesaan serta penetrasi kebudyaan barat ke dalam sistem orang-orang Jawa telah mengganggu ketentraman masyarakat Jawa.[18] Itulah beberapa faktor yang menyebabkan merebaknya gerakan Samin ini, bahkan hingga bisa bertahan sampai sekarang.

Kesimpulan
            Gerakan Samin diprakarsai oleh Surantiko Samin yang lahir di desa kecil Randublatung (sebelah barat Bojonegoro). Gerakan ini merupakan gerakan tanpa kekerasan. Tujuan gerakan Samin adalah mencoba untuk mengusir orang-orang kulit putih (dalam hal ini adalah pemerintah Hindia Belanda) dengan cara yang halus dan tanpa kekerasan, dan membangun negara asli pribumi untuk menciptakan masyarakat yang tentram, makmur, dan damai, dimana semua orang akan merasakan  “sama rasa sama rata”. Yang membuat menarik adalah gerakan ini dilakukan dengan jalan tanpa kekerasan dan bisa bertahan hingga sekarang. Penyebaran ajaran ini adalah di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan dan yang terbanyak di Tapelan.


Daftar Pustaka

Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya 3, Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.



[1]     Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: Serambi), hlm. 283.
[2]     Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hlm. 159.
[3]    Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV (Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 323.
[4]     Lombard, Denys, op. cit., hlm. 159-160; Menurut Ricklefs, Samin diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Palembang  (Ricklefs, 2010: 361).
[5]     Ricklefs, op. cit., hlm 361.
[6]     Ibid.; Lombard, Denys, op. cit., hlm. 160.
[7]     Lombard, Denys, loc. cit.
[8]     Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto, loc. cit.
[9]     Ibid., hlm. 328.
[10]    Ibid., hlm. 324.
[11]    Lombard, Denys, loc. cit.
[12]    Ricklefs, loc. cit.
[13]    Lombard, Denys, loc. cit.
[14]    Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto, op. cit., hlm. 328.
[15]    Ibid., hlm. 327.
[16]    Lombard, Denys, loc. cit.
[17]    Ricklefs, op. cit., hlm. 610-611.
[18]    Ibid., hlm 329-332.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar