PERAN PARTAI INDONESIA (PARTINDO) DALAM PERGERAKAN NASIONAL
Sejak dibubarkannya PKI pada tahun
1927, konsepsi nasionalisme Indonesia yang sesungguhnya mulai muncul. Salah
satu organisasi kebangsaan yang mengklaim sebagai penerus semangat perjuangan
PKI adalah PNI (Partai Nasional Indonesia). Pembentukan PNI diawali oleh
beberapa pemuda dari berbagai studieclub yang mulai melakukan beberapa
pertemuan. Setelah beberapa kali mengadakan pertemuan dan pembicaraan dalam
bulan Maret, April, dan Mei 1927, antara lain dihadiri oleh Soekarno, Iskaq, Boediarto,
Tjipto Mangoenkoesoemo, Tilaar, Soedjadi, Soenarjo, akhirnya diputuskan untuk
mendirikan PNI (Perserikatan Nasional Indonesia) pada rapat yang diadakan pada
tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Untuk sementara waktu, naskah rencana Anggaran
Dasar SRNI digunakan sebagai contoh rencana Anggaran Dasar PNI.[1] Pada tahun 1928,
Perserikatan Nasional Indonesia diganti namanya menjadi Partai Nasional
Indonesia. Orientasi politik organisasi ini bersifat antikolonialisme dan nonkooperasi.
Kemudian, PNI menjadi organisasi
yang radikal terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda
mulai menganggap organisasi ini sebagai organisasi yang berbahaya, oleh sebab
itu pemerintah segera melakukan berbagai penangkapan terhadap tokoh-tokoh
penting PNI. Dengan pembubaran PNI ini juga menimbulkan perpecahan diantara
tokoh-tokoh PNI sendiri. Maka, untuk mengisi kekosongan dan meneruskan
perjuangan, dibentuklah Partai Indonesia pada tahun 1931 oleh Mr. Sartono.
Sementara itu, Moh. Hatta yang tidak setuju pembentukan Partindo akhirnya
membentuk PNI Baru. Namun, yang akan dibahas pada tulisan ini adalah peran
Partindo dalam pergerakan kebangsaan Indonesia, sebab setelah pembubaran PNI
organiasai ini mengklaim dirinya sebagai penerus PNI dan memiliki cukup
pengaruh setelah kembali masuknya beberapa tokoh PNI. Untuk itu, permasalahan
yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai pembentukan Partindo, tokoh-tokoh
yang mempengaruhi pergerakan Partindo, gerakan-gerakan yang dilakukan Partindo
dan peran politik Partindo dalam pergerakan nasional.
Terbentuknya Partai Indonesia
Pada tahun 1929, ketika aktivitas PNI sedang
mencapai puncaknya, pemerintah Hindia Belanda mulai bertindak tegas atas
aktivitas yang dilakukan PNI yang dianggap sangat membahayakan. Pemerintah
Hindia Belanda mulai melakukan penggeledahan rumah-rumah tokoh PNI dan melakukan
perintah penangkapan atas empat tokoh PNI, yakni Soekarno, Maskoen, Gatot Mangkoepradja,
dan Soepriadinata. Penangkapan tokoh-tokoh PNI pada akhir bulan Desember 1929
itu memiliki dampak luas dan mendalam tidak hanya di kalangan pergerakan
nasional, tetapi juga di lingkungan golongan Eropa.[2]
Untuk mengisi kekosongan
kepemimpinan di tubuh PNI, pimpinan kemudian diambil alih oleh Sartono dan
Anwari. Kedua tokoh ini memiliki gaya kepemimpinan yang lebih berhati-hati dan
berusaha semaksimal mungkin untuk tidak memancing kecurigaan pemerintah Hindia
Belanda. Mereka mulai megeluarkan instruksi kepada cabang-cabang untuk
membatasi diri dalam aktivitas-aktivitasnya.[3]
Setelah Sukarno dihukum, para
pemimpin PNI merasa bahwa partai tersebut sebenarnya telah menjadi organisasi
terlarang[4] dan untuk
mengatasi kekacauan di tubuh PNI ini, maka pada tanggal 25 April 1931 Sartono
mengorganisir suatu Kongres Luar Biasa di Batavia. Kongres itu dihadiri oleh
wakil-wakil dari 14 cabang di mana keputusan untuk membubarkan partai disetujui
oleh semua utusan kecuali dua cabang.[5] Cabang yang
tidak setuju ini pada akhirnya akan membatuk suatu partai baru yang dinamakan
PNI Baru. Dengan dibubarkannya PNI telah memicu terjadinya perpecahan di antara
kaum nasionalis dalam pergerakan nasional.
Sehari sesudah kongres sebuah
panitia mulai merencanakan berdirinya sebuah partai sekuler baru yang non
kooperatif. Keanggotaan panitia itu terdiri dari Sartono, Manadi, Sukemi,
Suwirjo dan Angronsudirdja. Pada tanggal 1 Mei panitia ini mengumumkan
terbentuknya Partai Indonesia (Partindo) di bawah pimpinan sementara dari
Sartono. Pada hakekatnya Partindo adalah PNI yang menggunakan nama lain.[6] Tujuan partai
ini adalah mencapai Indonesia Merdeka. Partindo merumuskan hal-hal yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan dengan:
- Perluasan hak-hak politik dan perteguhan keinginan menuju suatu pemerintahan rakyat berdasarkan demokrasi.
- Perbaikan perhubungan-perhubungan dalam masyarakat.
- Perbaikan keadaan ekonomi rakyat.[7]
Setelah melihat dari pengalaman yang
dialami oleh PNI, semua kegiatan yang dilakukan Partindo dilakukan secara
berhati-hati, namun tanpa meninggalkan ideologi politiknya, yakni kemerdekaan
Indonesia, swadaya, menentukan nasib sendiri, swadhesi, dan kedaulatan rakyat.[8] Sebelum
pertengahan Juni, Sartono sudah mengumumkan struktur partai dan menyatakan
bahwa partai itu sudah siap untuk melakukan pendaftaran anggota. Partai itu terbagi
atas lima departemen, meliputi: organisasi dan persiapan kursus-kursus kepemimpinan,
pendidikan nasional, kooperasi, serikat buruh, dan pers. Cabang-cabangnya
mula-mula terbatas hanya di Batavia, Yogyakarta, Pekalongan dan Bandung.[9] Nantinya,
cabang-cabang yang memiliki pengaruh lebih banyak dalam pergerakan adalah
cabang Batavia dan cabang Bandung. Kemudian, cabang-cabang Partindo mulai
tersebar di seluruh Jawa, Sumatera, dan Indonesia Timur. Untuk menunjukkan
persambungan dengan PNI, Sartono melaporkan bahwa Supriadinata telah bergabung
dengan Partindo sesudah pembebasannya dari penjara, bagitu juga bekas-bekas
pimpinan PNI yang lain yaitu, Iskaq (Menado), Sujudi (Yogyakarta), Sunarjo
(Medan) dan Ali Sastroamidjojo (Batavia).[10]
Pada tanggal 12 Juli, Partindo
menyelenggarakan rapat umum pertama di Batavia. Nada pertemuan itu sangat
berlawanan dengan rapat PNI pada masa jayanya, yang jelas lebih banyak
menekankan swadaya, kooperasi, dan swadhesi (produksi dan pembelian hasil-hasil
penduduk asli). Pada pertemuan ini, Sartono menekankan pentingnya swadhesi atau
menggunakan produk dalam negri sebagai lambang hidupnya kembali kebanggaan
nasional.[11]
Pada pertengahan kedua tahun itu, Partindo kembali mengorganisir
terselenggaranya pertemuan-pertemuan yang dihadiri banyak orang. Perhatian
utama pada pertemuan itu adalah pada promosi swadhesi dan kooperasi serta pada
usaha merebut pengaruh di kalangan serikat buruh.[12]
Gerakan-gerakan Partindo: Cabang Batavia dan
Cabang Bandung
Sebagai sebuah partai yang menganggap
dirinya sebagai penerus PNI, Partindo tetap berusaha untuk melakukan
gerakan-gerakan yang bersifat non-kooperatif. Hanya saja, gerakan-gerakan
Partindo tidak seperti pada masa jaya PNI. Terutama dengan ditangkapnya
beberapa tokoh PNI dan ancaman pemerintah terhadap organisasi PNI yang mulai
menganggap PNI sebagai partai terlarang seperti PKI. Oleh sebab itu,
gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Partindo pun lebih berhati-hati dan
berusaha untuk tidak mengundang kecurigaan pemerintah Hindia Belanda.
Partindo adalah sebuah partai
politik yang menghendaki kemerdekaan
penuh bagi Indonesia dan mendasarkan programnya pada empat prinsip: menetukan
nasib sendiri, kebangsaan Indonesia, menolong diri sendiri, dan demokrasi.
Partindo adalah partai yang demokratis, non-kooperatif, dan radikal, yang dalam
kegiatan ekonomi dan sosialnya berusaha menyiapkan negri ini untuk merdeka.
Partindo mendasarkan perjuangannya pada perjuangan rasial[13] dalam rangka
mencapai kemerdekaan penuh antara front sawo matang melawan font kulit putih.
Partindo memiliki beberapa cabang.
Kepengurusan pusat memiliki kepengurusan yang sama dengan kepengurusan cabang
Batavia karena memang para anggota pengurus pusatnya tinggal di Batavia. Oleh
sebab itu, gerakan-gerakan yang lebih aktif terjadi di Batavia. Selain Batavia,
cabang yang cukup aktif dalam melakukan pergerakan adalah cabang Bandung,
terutama setelah Sukarno memutuskan untuk bergabung dengan Partindo setelah
dibebaskan dari penjara dan memegang kepemimpian Partindo cabang Bandung. Kedua
cabang inilah yang memiliki peran yang lebih aktif dibandingkan dengan
cabang-cabang di daerah lainnya. Dari kedua kepengurusan cabang ini, ada
perbedaan mengenai gerakan-gerakan yang dilakukannya. Hal ini disebabkan juga
karena Partindo jauh lebih heterogen pada badan pengurus pusatnya dan memiliki
kontrol yang lebih lemah terhadap cabang-cabangnya.[14] Hal ini juga
yang menjadi salah satu kelemahan keorganisasian Partindo.
Cabang Batavia, yang kepengurusannya
sama dengan kepengurusan pusat Partindo, gerakannya lebih berhati-hati. Oleh
Sartono, gerakan yang paling gencar dilakukan adalah menganjurkan kepada
anggotanya mengenai pentingnya melakukan gerakan swadhesi. Menurut Ingleson,
cabang Batavia merupakan penganjur swadhesi yang penuh semangat, yang menhabiskan
sebagian besar tenaganya dalam klub-klub debat, koperasi, dan sekolah-sekolah
lebih dari cabang Bandung dan juga lebih berhati-hati dalam perkembangannya dan
lebih sadar akan pembatasan-pembatasan yang diberikan oleh pemerintah Hindia
Belanda, yang dalam batas-batas itu dia harus bekerja.[15]Dengan
melakukan gerakan swadhesi diharapkan dapat membangun rasa kebanggaan nasional
dan menjadi alat perjuangan melawan kapitalisme Belanda. Sartono selalu mengedapankan
pentingnya geraka swadhesi dalam beberapa pertemuan yang diadakan oleh
Partindo.
Sedangkan cabang Bandung dikuasai
oleh keinginan Sukarno yang menggebu-gebu untuk mengadakan rapat-rapat akbar di
mana keunggulan oratorisnya yang demikian cemerlang telah menawan banyak orang.
Cabang Bandung kurang berhati-hati jika dibandingkan dengan cabang Batavia,
misalnya saja dalam menerima anggota baru, dan dibawah pengaruh Sukarno
menyelengarakan kampanye yang keras menentang pemerintah.[16] Ia menekankan
pentingnya kombinasi antara aksi masa dan machtsvorming
(pembentukan kekuatan), atau mobilisasi massa melawan pemerintah penjajah.
Menurutnya, politik non-kooperasi Indonesia sifatnya revolusioner dan lebih
baik dibandingkan dengan apa yang dilukiskannya sebagai non-kooperasi pasif di
India.[17] Aksi masa yang
dimaksud oleh Sukarno diantaranya adalah menyusun perhimpunan-perhimpunan,
menulis artikel-artikel dalam majalah dan surat kabar[18], mengadakan
kursus-kursus, mengadakan rapat-rapat umum, dan mengadakan
demonstrasi-demonstrasi. Oleh sebab itu, di tangan Sukarno, cabang Bandung
berusaha untuk menarik anggota sebesar-besarnya yang terdiri dari lapisan
bawah, tengah, dan atas. Kebanyakan anggota tertarik bergabung karena
keunggulan oratoris Sukarno. Partindo melalui surat kabarnya yakni Fikiran
Ra’jat dan Soeloeh Indonesia Moeda selalu melancarkan kritik tajam tetang
situasi ekonomi dan sosial dan ejekan terhadap imperialisme Belanda.
Hubungan antara para pemimpin dari
kedua cabang itu sangat hangat tetapi tidak erat karena yang satu relatif
independen dari yang lain dengan sesekali Sukarno berkunjung ke Batavia atau
para pemimpin Batavia ke Bandung. Hal ini juga menjadi bukti bahwa Kepengurusan
pusat Partindo tidak memiliki kontrol yang kuat terhadap cabang-cabangnya
Meskipun antara pemimpin cabang-cabang ini tidak satu suara tetapi tujuan dan
prinsip dasar mereka tetap sama, yakni mencapai kemerdekaan Indonesia serta
nonkooperasi.[19]
Dari segi keanggotaannya,
keanggotaan Batavia memiliki lebih banyak anggota yang sudah mempunyai
pekerjaan profesional, bersama dengan sejumlah besar anggota mahasiswa hukum
dan mahasiswa kedokteran di ibukota dibandingkan dengan cabang Bandung yang
mayoritas dari lapisan bawah. Amir Sjarifuddin dan Moh. Yamin merupakan
beberapa anggota yang memiliki kecakapan tinggi. Sedangkan cabang Bandung,
setelah masuknya Sukarno pada bulan Agustus 1932 mulai menunjukkan peningkatan
baik dalam aktivitas maupun dari jumlah keanggotannya.
Kesimpulan
Partindo merupakan sebuah organisasi yang
dibentuk setelah PNI dibubarkan pada tahun 1931. Gerakan Partindo pada umumnya
lebih bersikap hati-hati dan menekankan pentingnya gerakan swadhesi bagi
perjuangan kebangsaan Indonesia. Gerakan Partindo lebih terkonsentrasi di dua
cabang, yakni cabang Batavia dan cabang Bandung. Ada dua tokoh yang sangat
berpengaruh di dalam tubuh Partindo, yakni Sartono dan Sukarno. Oleh sebab itu,
ada perbedaan yang cukup signifikan mengenai gerakan yang dilakukan Partindo.
Partindo cabang Batavia lebih bersikap hati-hati dan menekankan pentingnya
gerakan swadhesi, sedangkan cabang Bandung di bawah Sukarno kurang berhati-hati
dan lebih radikal dengan memfokuskan kegiatannya pada perekrutan banyak anggota
dan terus melakukan kritik tajam terhadap pemerintah melalui tulisan-tulisan di
surat-surat kabar Partindo dan melalui pidato Sukarno.
Daftar Pustaka
Ingleson, John. 1983. Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927- 1934.
Jakarta: LP3ES.
Kartodirjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional. Jakarta: Gramedia.
Pringgodigdo. 1994. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia.
Jakarta: Dian Rakyat.
Ricklefs. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.
[1] Sartono
Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia
Baru: Sejarah Pergerakan Nasional (Jakarta: Gramedia, 1999). hlm. 156.
[2] Ibid., hlm. 164-165.
[3] Ibid., hlm. 165.
[4] Ricklefs,
Sejarah Indonesia Modern 1200-2008
(Jakarta: Serambi, 2010), hlm. 404.
[5] John
Ingleson, Jalan Ke Pengasingan
(Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 159.
[6] Ibid., hlm. 159-160.
[7] Pringgodigdo,
Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia (Jakarta:
Dian Rakyat, 1994), hlm. 129.
[8] Sartono
Kartodirjo, op. cit., hlm. 169.
[9] John
Ingleson, op. cit., hlm. 160.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm. 161.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hlm. 194.
[14] Ibid., hlm. 206.
[15] Ibid.
[16] Ibid., hlm. 206-207.
[17] Ibid. hlm. 209.
[18] Media masa
yang dimiliki oleh Partindo diantaranya adalah Fikiran Ra’jat, Soeloeh
Indonesia Moeda, dan Persatoean Indonesia.
[19] Ricklefs, loc.cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar