Minggu, 18 November 2012

MENGENAL SEJARAH SINGKAT REKSO PUSTOKO PURA MANGKUNEGARAN


MENGENAL SEJARAH SINGKAT REKSO PUSTOKO PURA MANGKUNEGARAN

Rekso Pustoko merupakan sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh Pura Mangkunegaran Surakarta yang telah berumur ratusan tahun. Perpustakaan tersebut, didirikan pada tahun 1867 atau pada masa pemerintahan Sri KGPAA Mangkunegara IV. Menurut transkripsi mengenai Sri Mangkunegara IV menyatakan, bahwa Rekso Pustoko Mangkunegaran didirikan sesuai dengan keputusan Mangkunegara IV tertanggal 11 Agustus 1867.
Rekso Pustoko saat ini memiliki 9 orang pegawai yang kesemuanya menjadi staff atas dasar pengabdian kepada peninggalan sejarah dan budaya khas Mangkunagaran. Sementara tugas dari para staff di Rekso Pustoko ini ada tiga hal:
  1. Melakukan pelayanan peminjaman buku, foto, dan arsip.
  2. Katalogisasi dan memilah buku-buku berdasar kriteria yang sudah ditentukan.
  3. Melakukan transliterasi terhadap naskah-naskah beraksara dan berbahasa Jawa, Arab, dan Belanda. Kegiatan tersebut berupa alih aksara, alih media, dan alih ejaan.
Selain itu ada 4 hal pokok yang harus dilakukan oleh para staff Rekso Pustoko, yakni:
  1. Pelayanan peminjaman buku
  2. Pelayanan foto
  3. Pelayanan arsip-arsip Mangkunagaran
  4. Mengalih aksara dan ejaan sesuai dengan EYD atau transliterasi.
Kebanyakan staff Rekso Pustoko adalah seorang pensiunan atau orang-orang yang memang memiliki kepedulian terhadap peninggalan-peninggalan yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi yang dimiliki oleh Mangkunagaran. Mereka semua benar-benar ingin mengabdi tanpa mengharapkan imbalan, karena memang upah yang mereka terima sebagai seorang abdi dalem tidak bisa disamakan dengan upah seorang pegawai profesional sekalipun. Bahkan, upah seorang abdi dalem bisa dikatakan relatif sangat kecil dan tidak akan mampu untuk digunakan menghidupi diri sendiri sekalipun. Oleh sebab itu, mereka patut diberi apresiasi yang tinggi atas peran serta mereka dan kepedulian mereka yang ikut berpartisipasi secara langsung untuk melestarikan semua warisan budaya dan sejarah yang tersimpan dengan baik di Rekso Pustoko yang tentu saja sangat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang sejarah dan budaya Jawa.
Namun demikian, permasalahan klasik yang dialami oleh perpustakaan ini adalah minimnya dana untuk perawatan rutin, pemeliharaan, dan penyelamatan koleksi-koleksinya dari ancaman kerusakan. Padahal, banyak manuskrip-manuskrip kuno yang tersimpan di perpustakaan ini yang membutuhkan perawatan khusus karena usianya yang memang sudah sangat tua dan sangat rapuh dengan kerusakan. Hal ini bisa dimaklumi karena semua aset yang dimiliki oleh Mangkunegaran telah disita pemerintah RI saat Indonesia telah dinyatakan sebagai negara merdeka dan keraton/pura hanya menjadi simbol pemangku budaya saja. Jadi, kerajaan sudah tidak memiliki lagi sumber dana untuk membayar segala kebutuhan yang dibutuhkan oleh keraton/ pura. Sekarang, hampir semua sisa-sisa peninggalan kerajaan, harus menggantungkan nasibnya kepada pemerintah. Meski demikian, pemerintah hanya mau membantu untuk biaya pemeliharaan benda-benda cagar budaya yang dimilikinya saja dan bangunan fisiknya saja, tetapi tidak termasuk isi yang ada di dalamnya sesuai dengan UU nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Agar pembaca bisa lebih memahami peran Rekso Pustoko sebagai lembaga pelestari arsip-arsip dan buku-buku kuno, maka penulis akan menjelaskan terlebih dulu mengenai keberadaan Rekso Pustoko dan sejarah singkat berdirinya Rekso Pustoko yang dihimpun dari beberapa surat kabar dan transkripsi KGPAA Mangkunagara IV.

Sejarah Singkat Berdirinya Rekso Pustoko dan Perkembangannya
Rekso Pustoko merupakan sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh Pura Mangkunagaran. Letaknya berada di sisi timur Pendhopo Ageng Mangkunegaran atau sebelah utara gerbang timur Pura Mangkunegaran. Rekso Pustoko sendiri memiliki arti, maksud dan tujuan. Arti Rekso adalah penjagaan, pengamanan, pemeliharaan, dan mencatat adanya surat-surat. Sedangkan Pustaka artinya adalah tulisan, surat-menyurat. Sehingga, pada awal berdirinya, perpustakaan ini memilliki fungsi sebagai lembaga pengarsipan segala aktifitas pemerintahan Praja Mangkunegaran. Fungsi Reksopustoko sebagai arsip secara de facto dimulai pada tahun 1860 namun, secara de jure Reksopustoko ditetapkan menjadi lembaga penghimpun arsip melalui peraturan KGPAA Mangkunegara IV tertanggal 11 Agustus 1867.
Pada awal berdirinya Reksopustoko menurut keputusan Mangkunagara IV tertanggal 11 Agustus 1867 (Bernas 5 November 1992), pada mulanya Reksopustoko berada di bawah wewenang Kawedanan Hamong Praja. Hamong Praja merupakan kawedanan yang membawahi Sastralukita (Sekretariat), Reksopustoko (arsip), dan Pamongsiswo (pendidikan). Perpustakaan itu merupakan bagian administrasi pemerintahan Praja Mangkunagaran, yang berfungsi mengelola bidang kearsipan istana.
Namun, mulai tahun 1877, Reksopustoko tidak hanya berfungsi sebagai arsip saja, tetapi juga menjadi perpustakaan yang menyimpan buku-buku koleksi Mangkunegara IV. Pada 1877, tugas kearsipan itu ditangani oleh Rekso Wilapa, badan yang didirikan secara khusus untuk itu. Sejak itu, Reksopustoko hanya mengurusi naskah serta buku-buku koleksi pribadi Sri Mangkunagara IV yang berjumlah 306 buah (lihat katalog tahun 1877). Maka dibuatlah katalog daftar buku untuk pertama kalinya pada tahun 1877. Katalog tersebut berjudul “Ing ngandhap punika cacah pratelanipun kagungandalem serat-serat ingkang katampen kala tanggal kaping 26 wulan Nopember 1877 utawi tanggal kaping 20 wulan Dulkangidah tahun Je angka 1806”. Mayoritas buku-buku yang disimpan dalam perpustakaan itu merupakan koleksi pribadi milik Sri Mangkunegara IV.
Menurut harian Kedaulatan Rakyat 5 November 1992, koleksi Rekso Pustoko terus berkembang, sehingga fungsinya tidak hanya sebagai tempat penyimpanan arsip-arsip pemerintahan saja, tetapi juga berbagai karya-karya sastra, seni budaya, piwulang, tata hidup, babad dan sejarah. Bahkan Rekso Pustoko juga menyimpan buku yang sangat langka, yakni buku harian Pangeran Sambernyowo yang menjadi koleksi tertua yang dimiliki Rekso Pustoko.
Koleksi-koleksi pertama Rekso Pustoko menurut transkripsi tentang pemerintahan KGPAA Mangkunagara IV, yakni: Buku-buku Menak, Babad, buku-buku Kawi, buku berceritakan Baratayudha, Arjunasasra, Rama Sansekerta, kitab Injil, Qur’an, Paramasastra, Sana sunu, Bermacam-macam Paniti Sastra, Jiwakara, Cerita fabel dan Anglingdarma, buku-buku ilmiah sejarah, cerita kepahlawanan (panji), Sangkala, buku tentang Yesus Kristus, Katuranggan, Centhini, Silsilah, Carakan Belanda, Jayabaya, Pustaka Raja, buku-buku tentang keris, masak-memasak, Pawukon, dan buku-buku sastra Jawa lainnya Pada waktu itu, buku dan naskah-naskah koleksi Rekso Pustoko boleh dipinjam oleh para abdi dalem Pura Mangkunegaran. Namun peminjam harus membaca buku tersebut di rumah agar tidak mengganggu jam kerja. Peraturan itu berlaku hingga mana pemerintahan Sri MN VII (1916-1944). Kemudian Sri MN VIII pada periode pemerintahannya mulai menambah koleksi Rekso Pustoko.
Pada tahun 1930 (Kedaulatan Rakyat 5 November 1992), Perpustakaan tersebut dipindah ke gedung Societe (Monumen Pers sekarang). Itulah masa kejayaan Rekso Pustoko yang ditandai dengan semakin banyaknya pengunjung dan juga koleksinya. Namun, situasi politik saat itu membuat keberadaan Rekso Pustoko terancam dengan adanya politik bumi hangus Belanda. Maka koleksi Rekso Pustoko segera dipindah dan disimpan di Pura Mangkunagaran. Kemudian, pada tahun 1966 banjir besar melanda kota Solo yang juga menghanyutkan sebagian buku-buku. Sejak itu, seluruh koleksi Rekso Pustoko digudangkan selama 10 tahun. Baru pada tahun 1977 Rekso Pustoko kembali dibuka untuk kepentingan wisata. Namun, karena itulah beberapa koleksi Rekso Pustoko dikabarkan sempat hilang dibawa oleh para wisatawan. Namun, semuanya telah diselesaikan dengan jalan kekeluargaan. Mulai sejak itu, Rekso Pustoko tertutup bagi para wisatawan dan hanya diperuntukkan bagi para pengunjung dan akademisi yang memiliki keinginan untuk mempelajari buku-buku dan arsip-arsip kuno yang dimiliki oleh Rekso Pustoko.
Jika kita lihat pada katalog pertama yang dikeluarkan oleh Rekso Pustoko, selain arsip yang memang disimpan tersendiri, kebanyakan koleksi buku berupa serat babad atau bacaan-bacaan sejarah tradisional Jawa. Jika kita melihat katalog tersebut, maka pada awalnya koleksi buku yang dimiliki Reksopustoko, selain arsip-arsip yang berhubungan dengan pemerintahan Mangkunegaran dan pemerintah Hindia Belanda, jumlah seluruh buku baru berjumlah 306 judul buku. Namun, seiring dengan bertambahnya usia Reksopustoko, koleksi buku yang dimilikinya pun terus bertambah.
Pada tahun 1992, dalam harian Kedaulatan Rakyat 6 November 1992, KRT Husodo Pringgokusumo yang menjadi pimpinan Reksopustoko saat itu menyatakan, bahwa Reksopustoko memiliki sekitar 5.000 buku dan majalah serta 843 naskah kuno yang sudah didata. Dari naskah-naskah kuno tersebut, sudah dilakukan perawatan dan dibuat mikrofilmnya anatara lain Babad Penambangan, Centhini, Babad Kartosuro, Babad Diponegoro, Babad Tanah Jawa, Babad Mataram, Babad Giyanti, Pustoko Rojo Purwo serta kumpulan tuisan Arab dari KGPAA Mangkunagoro I. Saat ini saja, terdapat lebih dari 29.000 judul buku yang sudah tercatat, yang terdiri dari buku-buku yang bertuliskan huruf Jawa, berbahasa Belanda, berbahasa Indonesia dan 11.000 dari jumlah tersebut masih berupa bertuliskan huruf Jawa dan belum ditrasnkripsi ke dalam tulisan latin dan menggunakan bahasa sesuai dengan Ejaan yang Disempurnakan. Jika melihat adanya kenaikan koleksi buku tersebut, bisa kita simpulkan bahwa setiap tahunnya koleksi buku yang dimiliki Reksopustoko terus bertambah. Hal ini disebabkan karena sebagian buku-buku tersebut sudah ditransliterasikan dan dibuat copy-nya agar dokumen asli tidak rusak, sehingga terjadi penambahan jumlah koleksi.
Dari jumlah tersebut, hampir keseluruhannya sudah dalam keadaan rusak atau rapuh sehingga memerlukan perawatan khusus. Oleh sebab itu, maka Rekso Pustoko telah melakukan berbagai upaya untuk melestarikan naskah-naskah kuno tersebut. Upaya pertama adalah dengan melakukan  transliterasi dan transkripsi. Upaya kedua adalah dengan mikrofilmisasi naskah. Yang ketiga adalah dengan memasukkan naskah-naskah kuno ke dalam kertas Sirioblack yang dapat mencegah asam dan hama buku, serta melakukan pembersihan setiap hari, pengkapurbarusan setiap bulan, dan fumisida setiap bulan.
Pernyataan KRT M. Husodo dalam harian Bernas 6 November 1992 yang menjabat sebagai kepala Rekso Pustoko saat itu.yang menyatakan bahwa dalam upaya pelestarian naskah kuno harus dilakukan dengan transliterasi. Salah satu staff yang melakukan pekerjaan tersebut saat itu adalah Marto Darmono (alm). Saat itu ia sudah mampu melakukan transliterasi sekitar 40 judul naskah yang rata-rata tebalnya mencapai 500 halaman. Pekerjaan tersebut dilakukannya siang dan malam. Pada tahun 1992 itu, buku yang sudah ditransliterasi baru 1.335 yang diantaranya  berbahasa Jawa dan 751 judul bertuliskan huruf Jawa.
Upaya lain yang telah dilakukan oleh Rekso Pustoko adalah dengan menyimpannya dalam mikrofilm. Mikrofilmisasi ini dilakukan dengan bantuan dari Cornell University, Itacha, New York. Sekaligus disusun dalam sebuah katalog berdasarkan judul dan tahun penciptaannya atau penerbitannya.
Program ini menurut Husodo dalam harian Bernas 6 November 1992, telah dirintis sejak Desember 1980 lalu oleh Dr. Nancy Florida, dan Alan Feinstein M.A, yang hasilnya dibuat rangkap tiga. Satu disimpan di Leiden, Belanda, satu lagi di Cornell University dan satu di Rekso Pustoko. Hal yang sama diungkapkan pula dalam harian Kedaulatan Rakyat yang terbit pada 6 November 1992. Pernyataan ini didukung dengan adanya pemberitaan pada 23 Juni 1984 yang dimuat dalam harian Suara Merdeka yang memberitakan bahwa Rekso Pustoko telah menerima bantuan dari Perpustakaan Wilayah Jawa Tengah berupa biaya transkripsi, bantuan perlengkapan perpustakaan dan bantuan mikrofilmisasi naskah-naskah kuno dari pihak Belanda. Harian Kedaulatan Rakyat 5 November pun memberitakan hal yang sama. Menurut harian tersebut, Universitas Cornell Amerika Serikat yang mengutus peneliti andalannya, Nancy Florida untuk melakukan pembenahan pada koleksi Rekso Pustoko. saat itu, sekitar 500 naskah kuno berhasil dibuat mikro filmnya sehingga kemungkinan rusak dapat dihindari.
Dengan adanya mikrofilmisasi ini diharapkan naskah-naskah kuno bisa bertahan lebih lama lagi. Dengan begini, nantinya pengunjung tidak perlu lagi mengambil atau mengadakan kontak langsung terhadap  naskah kuno yang asli, dan hanya perlu melihatnya melalui mikrofilm tersebut. Sehingga, keberadaan naskah-naskah kuno tersebut bisa tetap terjaga dari kepunahan.
Selain itu, dengan dilakukannya transliterasi dari aksara Jawa ke aksara latin yang umumnya terdapat dalam naskah-naskah kuno tersebut, diharapkan agar pengunjung bisa lebih mudah membaca naskah-naskah beraksarakan Jawa. Setelah ditransliterasi, proses selanjutnya adalah ditranskirpsi, yakni dibuat salinannya yang sudah menggunakan huruf latin dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Diharapkan, agar dengan adanya transkripsi ini, selain untuk menjaga keawetan naskah-naskah kuno tersebut, pengunjung juga dimudahkan dalam membaca transkrip-transkrip tersebut karena sudah menggunakan bahasa Indonesia atau pun yang masih dituliskan dalam bahasa Jawa saja, bagi yang berminat untuk mempelajari bahasa Jawa.
Menurut Kedaulatan Rakyat 5 November 1992, pekerjaan transliterasi ini dikerjakan oleh pegawai Rekso Pustoko yang selain menguasai penggunaan huruf Jawa juga menguasai huruf latin. Kebanyakan staff saat ini berusia 40 tahunan ke atas. Hampir semua staff dituntut untuk bisa membaca huruf-huruf Jawa dan berbahasa Jawa.
Sebagai salah satu perpustakaan tertua di Jawa Tengah, Reksopustoko telah melakukan berbagai upaya untuk tetap melestarikan buku-buku kuno dan arsip-arsip kuno yang sangat berguna bagi penelitian sejarah dan kebudayaan. Oleh sebab, penting kiranya ada sebuah kepedulian dari kita bersama dan juga pemerintah untuk ikut berpartisipasi dalam mendukung upaya Rekso Pustoko untuk melestarikan, dan merawat seluruh koleksinya yang memang sangat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Jika kita tidak ikut peduli, bukan tidak mungkin koleksi yang tersimpan akan rusak dan tidak dapat lagi dimanfaatkan sebagai sumber pengetahuan yang tidak akan bisa dinilai dengan materi saja. Selain itu, dengan adanya perpustakaan ini sepatutnya dapat dimanfaatkan dengan baik bagi para peneliti sejarah dan budaya, karena banyaknya sumber sejarah, sastra, dan budaya yang tersimpan didalamnya yang sangat berharga bagi ilmu pengetahuan yang hingga saat ini masih belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para akademisi dan masyarakat terutama yang tertarik dengan sejarah Jawa dan budayanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar