INDOKTRINASI KIAI PEDESAAN
1. Kerangka Kebijakan Jepang mengenai Islam
Pemerintah militer Jepang menaruh
perhatian yang cukup besar atas Islam Indonesia, serta memberikan peran sosial
dan politik yang penting kepada para pemimpin Islam. Meskipun
penganut Islam di Jepang sangat sedikit dan tidak ada kesamaan dengan agama
yang ada di Jepang, namun pada awal tahun 1930-an pemerintah Jepang mulai
menunjukkan minatnya kepada Islam melalui promosi kajian Islam serta membangun
hubungan dengan para pemimpin Islam terkemuka di Asia. Misalnya dengan mengirim
mahasiswa Jepang ke Arab dan Mesir untuk mempelajari Islam pada tahun 1935,
kemudian membangun mesjid pertama di Kobe dan Tokyo pada tahun 1938. Pada tahun
yang sama didirikan pula perhimpunan Islam Jepang dan ditahun berikutnya suatu
Pameran Islam dan Konferensi Islam sedunia diselenggarakan di Tokyo.
Ketika
tentara Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, harapan akan kerja sama
dari kaum muslim menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak, dan upaya Jepang tersebut
memperoleh makna yang lebih penting. Islam penting bagi Jepang sebagai
perangkat propaganda politik dan mobilisasi masa. Jepang menganggap Islam
sebagai sebuah ideologi yang bertentangan dengan kebudayaan barat dan berusaha
menyamakan perang Jepang melawan kekuatan Barat sebagai Perang Suci Islam
melawan Kristen. Dengan demikian, kebijakan Jepang terhadap Islam selalu
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari “operasi propaganda dan penjinakan”
untuk memanipulasi pikiran rakyat, dan mereka menaruh perhatian khusus terhadap
peran pemimpin Islam. Utamanya adalah para alim ulama dan para kiai.
Pemerintah
militer Jepang berusaha untuk menunjukkan sikap yang bersahabat terhadap alim
ulama dan berusaha menggalang kerja sama dengan mereka. Ada tiga tindakan yang
sangat penting yang dilakukan Jepang untuk memanfaatkan alim ulama dalam
kebijakan propaganda dan mobilisasi massa.
- Didirikannya sebuah organisasi muslim, Masjoemi.
- Dibentuknya seksi urusan keagamaan (Shumuka) di setiap keresidenan. Kewajiban utama seksi ini adalah melakukan kontrol atas alim ulama setempat dan memobilisasi mereka demi tujuan-tujuan propaganda.
- Diselenggarakan program “Latihan Alim Ulama” (Kiyai Koshukai), yang dapat ditafsirkan sebagai suatu usaha untuk membuat alim ulama yang berpengaruh sebagai propagandis yang pro-Jepang.
2. Shumubu
Perhatian
terhadap Islam diungkapkan oleh pembentukan sebuah departemen yang independen,
yaitu Shumubu atau Kantor Oeroesan
Agama, di dalam pemerintahan militer untuk menangai persoalan agama. Kegiatan Shumubu
pada tahap awal difokuskan pada penelitian dan persiapan atau bisa dikatakan
sebagai tahap menunggu dan belajar.
Staf
Shumubu
Pemimpin
puncak, yakni jabatan Shumubu-cho
(direktur) pertama kali diduduki oleh seorang perwira militer Jepang, Kolonel
Horie. Ada sekitar lima belas orang Jepang dan lima orang pejabat Indonesia
yang bekerja di bawah kolonel Horie. Kebanyakan orang Jepang tersebut berasal
dari Kementrian Pendidikan Jepang dan tiga orang muslim Jepang. Mereka adalah
Haji Abdul Munir Watanabe, H. Abdul Munim Inada, dan Mohamed Taufik Sasaki.
Sementara
itu, staf yang berasal dari Indonesia yang merupakan mantan anggota staf Kantoor Adviseur voor Inlandsche Zaken.
Mereka terdiri dari para priyayi sekuler seperti Raden Haji Hoesein Iskandar, Mr.
Raden Soebagijo Djojowidagdo, Soewirjo, Hardjo, dan Haji Abubakar. Selain para
mantan pegawai Kantoor Adviseur voor
Inlandsche Zaken, ada seorang yang direkrut dari luar, ia adalah Dr.
Prijono. Disamping para pegawai atau pejabat biasa ini, mantan Vic Adviseur (Wakil Penasehat), Prof.
Dr. Hoesein Djajadiningrat, diangkat sebagai penasehat (komon) untuk Shumubu.
Adanya
sejumlah mantan pegawai Kantoor Adviseur
voor Inlandsche Zaken di kalangan pejabat Shumubu menunjukkan betapa dalamnya kesadaran orang Jepang akan
kekurangan pengetahuan dan pengalaman mereka, dan betapa berkeinginannya mereka
memperoleh pengetahuan tentang pengaturan keagamaan dari staf Indonesia.
Sedangkan pekerjaan utama para pegawai Indonesia di Shumubu adalah menyediakan informasi dasar tentang Islam kepada
pihak Jepang, dengan menerjemahkan dokumen-dokumen Belanda atau terkadang
menyusun data pribadi tentang para pemimpin Islam di Jawa.
Hoesein
Djajadiningrat sebagai Shumubucho (September
1943-Juli 1944)
Sesudah
Jepang mulai melaksanakan kebijakan-kebijakan baru, mereka juga mulai mengubah
struktur dan komposisi personalia Shumubu.
Misalnya dengan mengangkat Dr. Hoesein Djajadiningrat pada September 1943
sebagai direktur Shumubu menggantikan
Horie. Pengangkatan Hoesein merupakan suatu langkah awal ke arah “Pengambilan
Bagian dalam Pemerintahan oleh Bangsa Indonesia”, yaitu suatu kebijakan yang
diterapkan setelah kunjungan Perdana Menteri Tojo ke Jawa pada bulan Juli 1943.
Melihat
banyaknya kaum priyayi sekuler (non santri) yang menjadi staf Shumubu merupakan bukti bahwa Jepang
bermaksud untuk mengontrol mereka sejak awal, sekalipun pengetahuan Islam
mereka cukup mendalam. Penangkatan Hoesein ini dapat menjadi masalah jika
memikirkan potensi konflik serta permusuhan antara pejabat priyayi dan pemimpin Islam. Para pemimpin
Islam ini mungkin berpikir bahwa Jepang telah mengabaikan mereka dan tidak ada
bedanya dengan kebijakan Belanda. Hal ini sebenarnya sudah disadari oleh
Jepang, namun budaya politik mereka yang menekankan gengsi tinggi terhadap
karir birokratis dan kekurangpercayaan mereka terhadap kaum pemimpin Islam
menjadi alasan pengkatan Hoesein tersebut.
Setelah
pengangkatan Hoesein, jabatan penasehat (komon)
diambil alih oleh K.H Mansoer, seorang pemimpin Muhammadiyah terkemuka. Pada
tanggal 10 Oktober 1943, seorang hakim
agama Islam, yaitu Raden Haji Moechtar, dipindahkan dari Pengadilan Tinggi
Islam di bawah yurisdiksi Departemen Kehakiman ke kantor Shumubu, dan diberi jabatan sebagai kepala seksi. Hingga saat itu, Shumubu terutama membatasi pekerjaannya
pada penerangan dan propaganda. Pekerjaan administratif dalam hal agama
dijalankan oleh Seksi Penerangan di bawah Kantor Pengadjaran Departemen Dalam
Negri; tetapi kemudian semuanya dialihkan ke Shumubu. Hal ini berakibat pada perkembangan dan perluasan Shumubu, yang menyatukan kegiatan
propaganda dengan administrasi urusan keagamaan di bawah satu kantor
pemerintahan.
Pada bulan November 1943, terbentuk
perhimpunan Islam Masjoemi dengan dukungan pemerintah. Asjoe’lah,
sebuah majalah berkala, mulai diterbitkan untuk mengumumkan pesan-pesan
pemerintah kepada para pemimpin muslim daerah. Pada bulan Februari 1944,
pusat-pusat latihan permanen bagi guru-guru pesantren dan madrasah daerah
didirikan di Jakarta.
Meskipun
demikian, terjadi juga pemberontakan Kiai Zainal Mustafa di Singaparna,
Tasikmalaya, pada bulan Februari 1944 dan sebagian besar guru-guru serta santri
pesantrennya bangkit melawan perlakuan Jepang terhadap mereka. Pemberontakan
ini membuat pemerintah Jepang marah terhadap kinerja Shumubucho Indonesia yang berujung mundurnya Hoesein sebagai Shumubucho pada Agustus 1944.
Hasjim
Asjari sebagai Shumubucho (Agustus
1944-Agustus 1945)
Kiai
Hasjim Asjari menggantikan Hoesein pada tanggal 1 Agustus 1944. Ia adalah salah
seorang pendiri Nahdatul Ulama. Pengangkatan Hasjim Asjari salah satunya
disebabkan karena situasi perang yang semakin tidak menguntungkan bagi pihak
Jepang, dan situasi sosial-ekonomi Jawa yang semakin buruk, kebutuhan untuk
menggalang kerja sama dengan kaum muslim menjadi sesuatu yang semakin mendesak.
Pemerintah Jepang menganggap bahwa ia adalah orang yang sangat diperlukan dan
menganggap perlu mengambil keuntungan dari pengaruh besar dan gengsi ulama ini.
Bersamaan
dengan penggantian Shumubucho, dua
jabatan baru, yaitu wakil Shumubucho
dan Sanyo (penasehat) dibentuk.
Jabatan wakil Shumubucho diberikan
kepada Haji Abdoel Kahar Moezakir, yang merupakan pemimpin Muhammadiyah
Yogyakarta. Sedangkan jabatan Sanyo
diberikan kepada Haji Wahid Hasjim. Setelah itu, Shumubu direorganisasikan menjadi empat seksi, dan dua diantaranya
dikepalai oleh orang Indonesia.
Jadi,
Jepang telah menjadikan Shumubu sebagai
markas besar penting bagi operasi propaganda dan memberi peran politik kepada
pejabat pentingnya. Untuk menyandang peran itu, tidak ada yang lebih cocok
selain ulama.
3. Shumuka
Salah satu tindakan untuk
mengembangkan kontrol yang efektif terhadap ulama Islam ialah didirikannya
seksi agama, yaitu Shumuka, di
kantor-kantor keresidenan pada bulan April 1944. Ada enam tugas utama Shumuka menurut Dr. Hoesein, yakni:
1.
Untuk meningkatkan bimbingan dan
propaganda terhadap umat Islam.
2.
Untuk mempererat hubungan antara
pangreh praja dan alim ulama.
3.
Untuk mengaktifkan alim ulama
supaya bekerja sama dengan pemerintah militer Jepang.
4.
Untuk mengarahkan dan
mengendalikan penghulu.
5.
Bahasa Jepang dan pengetahuan umum
diajarkan di sekolah-sekolah agama.
6.
Untuk menyeleksi siswa yang
dilatih sebagai alim ulama.
Kehendak Jepang ialah untuk
mempererat cengkraman pemerintah terhadap penduduk muslim secara umum, dan
khususnya alim ulama, dengan menempatkan mereka di bawah kontrol langsung
pejabat ulama, sehingga bisa memobilisasi mereka supaya bekerja sama dengan
pihak Jepang. Keberadaan ulama di Shumuka
lebih sebagai koordinator seluruh ulama keresidenan dan aktif dalam
lapangan propaganda. Tetapi, pejabat sekuler tetap mengendalikan pembuatan
keputusan dan pelaksanaan kebijakan sehari-hari. Kegiatan-kegiatan Shumuka untuk mengendalikan alilm ulama
setempat bekerja lebih efektif jika dipadukan dengan upaya untuk mendidik alim
ulama melalui serangkaian kursus latihan dalam rangka menjadikan mereka sebagai
propagandis Jepang.
Kursus Latihan ditangani oleh Seksi III Shumubu
(Penelitian, Kontrol, dan Pengelolaan). Meskipun tugas perekrutan diserahkan
kepada Shumuka tetapi staf pengajar
di dalam kursus adalah orang-orang Shumubu.
Diharapkan bahwa melalui kursus ini, para siswa kursus dapat menularkan ilmu
yang didapatnya kepada ulama lain di luar kursus. Selain itu, diharapkan juga
ulama ini menjadi agen propaganda untuk menghimbau rakyat supaya mau
menjalankan kebijakan pangan Jepang dengan menanam padi, kapas, dsb. Ulama juga
berperan dalam memberikan ceramah dan memberikan dorongan kepada para calon
romusha mengenai pentingnya peran mereka. Diharapkan juga melalui kursus ini
alim ulama dapat bekerja sama dengan pegawai pangreh praja lainnya. Karena bagi
Jepang sangat penting untuk menyatukan seluruh elemen masyarakat dalam satu
saluran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar