Rabu, 14 November 2012

INDOKTRINASI KIAI PEDESAAN

INDOKTRINASI KIAI PEDESAAN


1.    Kerangka Kebijakan Jepang mengenai Islam
            Pemerintah militer Jepang menaruh perhatian yang cukup besar atas Islam Indonesia, serta memberikan peran sosial dan politik yang penting kepada para pemimpin Islam. Meskipun penganut Islam di Jepang sangat sedikit dan tidak ada kesamaan dengan agama yang ada di Jepang, namun pada awal tahun 1930-an pemerintah Jepang mulai menunjukkan minatnya kepada Islam melalui promosi kajian Islam serta membangun hubungan dengan para pemimpin Islam terkemuka di Asia. Misalnya dengan mengirim mahasiswa Jepang ke Arab dan Mesir untuk mempelajari Islam pada tahun 1935, kemudian membangun mesjid pertama di Kobe dan Tokyo pada tahun 1938. Pada tahun yang sama didirikan pula perhimpunan Islam Jepang dan ditahun berikutnya suatu Pameran Islam dan Konferensi Islam sedunia diselenggarakan di Tokyo.
            Ketika tentara Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, harapan akan kerja sama dari kaum muslim menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak, dan upaya Jepang tersebut memperoleh makna yang lebih penting. Islam penting bagi Jepang sebagai perangkat propaganda politik dan mobilisasi masa. Jepang menganggap Islam sebagai sebuah ideologi yang bertentangan dengan kebudayaan barat dan berusaha menyamakan perang Jepang melawan kekuatan Barat sebagai Perang Suci Islam melawan Kristen. Dengan demikian, kebijakan Jepang terhadap Islam selalu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari “operasi propaganda dan penjinakan” untuk memanipulasi pikiran rakyat, dan mereka menaruh perhatian khusus terhadap peran pemimpin Islam. Utamanya adalah para alim ulama dan para kiai.
            Pemerintah militer Jepang berusaha untuk menunjukkan sikap yang bersahabat terhadap alim ulama dan berusaha menggalang kerja sama dengan mereka. Ada tiga tindakan yang sangat penting yang dilakukan Jepang untuk memanfaatkan alim ulama dalam kebijakan propaganda dan mobilisasi massa.
  1. Didirikannya sebuah organisasi muslim, Masjoemi.
  2. Dibentuknya seksi urusan keagamaan (Shumuka) di setiap keresidenan. Kewajiban utama seksi ini adalah melakukan kontrol atas alim ulama setempat dan memobilisasi mereka demi tujuan-tujuan propaganda.
  3. Diselenggarakan program “Latihan Alim Ulama” (Kiyai Koshukai), yang dapat ditafsirkan sebagai suatu usaha untuk membuat alim ulama yang berpengaruh sebagai propagandis yang pro-Jepang.

2.    Shumubu
            Perhatian terhadap Islam diungkapkan oleh pembentukan sebuah departemen yang independen, yaitu Shumubu atau Kantor Oeroesan Agama, di dalam pemerintahan militer untuk menangai persoalan agama. Kegiatan Shumubu pada tahap awal difokuskan pada penelitian dan persiapan atau bisa dikatakan sebagai tahap menunggu dan belajar.

Staf Shumubu
            Pemimpin puncak, yakni jabatan Shumubu-cho (direktur) pertama kali diduduki oleh seorang perwira militer Jepang, Kolonel Horie. Ada sekitar lima belas orang Jepang dan lima orang pejabat Indonesia yang bekerja di bawah kolonel Horie. Kebanyakan orang Jepang tersebut berasal dari Kementrian Pendidikan Jepang dan tiga orang muslim Jepang. Mereka adalah Haji Abdul Munir Watanabe, H. Abdul Munim Inada, dan Mohamed Taufik Sasaki.
            Sementara itu, staf yang berasal dari Indonesia yang merupakan mantan anggota staf Kantoor Adviseur voor Inlandsche Zaken. Mereka terdiri dari para priyayi sekuler seperti Raden Haji Hoesein Iskandar, Mr. Raden Soebagijo Djojowidagdo, Soewirjo, Hardjo, dan Haji Abubakar. Selain para mantan pegawai Kantoor Adviseur voor Inlandsche Zaken, ada seorang yang direkrut dari luar, ia adalah Dr. Prijono. Disamping para pegawai atau pejabat biasa ini, mantan Vic Adviseur (Wakil Penasehat), Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, diangkat sebagai penasehat (komon) untuk Shumubu.
            Adanya sejumlah mantan pegawai Kantoor Adviseur voor Inlandsche Zaken di kalangan pejabat Shumubu menunjukkan betapa dalamnya kesadaran orang Jepang akan kekurangan pengetahuan dan pengalaman mereka, dan betapa berkeinginannya mereka memperoleh pengetahuan tentang pengaturan keagamaan dari staf Indonesia. Sedangkan pekerjaan utama para pegawai Indonesia di Shumubu adalah menyediakan informasi dasar tentang Islam kepada pihak Jepang, dengan menerjemahkan dokumen-dokumen Belanda atau terkadang menyusun data pribadi tentang para pemimpin Islam di Jawa.

Hoesein Djajadiningrat sebagai Shumubucho (September 1943-Juli 1944)
            Sesudah Jepang mulai melaksanakan kebijakan-kebijakan baru, mereka juga mulai mengubah struktur dan komposisi personalia Shumubu. Misalnya dengan mengangkat Dr. Hoesein Djajadiningrat pada September 1943 sebagai direktur Shumubu menggantikan Horie. Pengangkatan Hoesein merupakan suatu langkah awal ke arah “Pengambilan Bagian dalam Pemerintahan oleh Bangsa Indonesia”, yaitu suatu kebijakan yang diterapkan setelah kunjungan Perdana Menteri Tojo ke Jawa pada bulan Juli 1943.
            Melihat banyaknya kaum priyayi sekuler (non santri) yang menjadi staf Shumubu merupakan bukti bahwa Jepang bermaksud untuk mengontrol mereka sejak awal, sekalipun pengetahuan Islam mereka cukup mendalam. Penangkatan Hoesein ini dapat menjadi masalah jika memikirkan potensi konflik serta permusuhan antara pejabat  priyayi dan pemimpin Islam. Para pemimpin Islam ini mungkin berpikir bahwa Jepang telah mengabaikan mereka dan tidak ada bedanya dengan kebijakan Belanda. Hal ini sebenarnya sudah disadari oleh Jepang, namun budaya politik mereka yang menekankan gengsi tinggi terhadap karir birokratis dan kekurangpercayaan mereka terhadap kaum pemimpin Islam menjadi alasan pengkatan Hoesein tersebut.
            Setelah pengangkatan Hoesein, jabatan penasehat (komon) diambil alih oleh K.H Mansoer, seorang pemimpin Muhammadiyah terkemuka. Pada tanggal 10  Oktober 1943, seorang hakim agama Islam, yaitu Raden Haji Moechtar, dipindahkan dari Pengadilan Tinggi Islam di bawah yurisdiksi Departemen Kehakiman ke kantor Shumubu, dan diberi jabatan sebagai kepala seksi. Hingga saat itu, Shumubu terutama membatasi pekerjaannya pada penerangan dan propaganda. Pekerjaan administratif dalam hal agama dijalankan oleh Seksi Penerangan di bawah Kantor Pengadjaran Departemen Dalam Negri; tetapi kemudian semuanya dialihkan ke Shumubu. Hal ini berakibat pada perkembangan dan perluasan Shumubu, yang menyatukan kegiatan propaganda dengan administrasi urusan keagamaan di bawah satu kantor pemerintahan.
            Pada bulan November 1943, terbentuk perhimpunan Islam Masjoemi dengan dukungan pemerintah. Asjoe’lah, sebuah majalah berkala, mulai diterbitkan untuk mengumumkan pesan-pesan pemerintah kepada para pemimpin muslim daerah. Pada bulan Februari 1944, pusat-pusat latihan permanen bagi guru-guru pesantren dan madrasah daerah didirikan di Jakarta.
            Meskipun demikian, terjadi juga pemberontakan Kiai Zainal Mustafa di Singaparna, Tasikmalaya, pada bulan Februari 1944 dan sebagian besar guru-guru serta santri pesantrennya bangkit melawan perlakuan Jepang terhadap mereka. Pemberontakan ini membuat pemerintah Jepang marah terhadap kinerja Shumubucho Indonesia yang berujung mundurnya Hoesein sebagai Shumubucho pada Agustus 1944.

Hasjim Asjari sebagai Shumubucho (Agustus 1944-Agustus 1945)
            Kiai Hasjim Asjari menggantikan Hoesein pada tanggal 1 Agustus 1944. Ia adalah salah seorang pendiri Nahdatul Ulama. Pengangkatan Hasjim Asjari salah satunya disebabkan karena situasi perang yang semakin tidak menguntungkan bagi pihak Jepang, dan situasi sosial-ekonomi Jawa yang semakin buruk, kebutuhan untuk menggalang kerja sama dengan kaum muslim menjadi sesuatu yang semakin mendesak. Pemerintah Jepang menganggap bahwa ia adalah orang yang sangat diperlukan dan menganggap perlu mengambil keuntungan dari pengaruh besar dan  gengsi ulama ini.
            Bersamaan dengan penggantian Shumubucho, dua jabatan baru, yaitu wakil Shumubucho dan Sanyo (penasehat) dibentuk. Jabatan wakil Shumubucho diberikan kepada Haji Abdoel Kahar Moezakir, yang merupakan pemimpin Muhammadiyah Yogyakarta. Sedangkan jabatan Sanyo diberikan kepada Haji Wahid Hasjim. Setelah itu, Shumubu direorganisasikan menjadi empat seksi, dan dua diantaranya dikepalai oleh orang Indonesia.
            Jadi, Jepang telah menjadikan Shumubu sebagai markas besar penting bagi operasi propaganda dan memberi peran politik kepada pejabat pentingnya. Untuk menyandang peran itu, tidak ada yang lebih cocok selain ulama.

3.         Shumuka
            Salah satu tindakan untuk mengembangkan kontrol yang efektif terhadap ulama Islam ialah didirikannya seksi agama, yaitu Shumuka, di kantor-kantor keresidenan pada bulan April 1944. Ada enam tugas utama Shumuka menurut Dr. Hoesein, yakni:
1.      Untuk meningkatkan bimbingan dan propaganda terhadap umat Islam.
2.      Untuk mempererat hubungan antara pangreh praja dan alim ulama.
3.      Untuk mengaktifkan alim ulama supaya bekerja sama dengan pemerintah militer Jepang.
4.      Untuk mengarahkan dan mengendalikan penghulu.
5.      Bahasa Jepang dan pengetahuan umum diajarkan di sekolah-sekolah agama.
6.      Untuk menyeleksi siswa yang dilatih sebagai alim ulama.
            Kehendak Jepang ialah untuk mempererat cengkraman pemerintah terhadap penduduk muslim secara umum, dan khususnya alim ulama, dengan menempatkan mereka di bawah kontrol langsung pejabat ulama, sehingga bisa memobilisasi mereka supaya bekerja sama dengan pihak Jepang. Keberadaan ulama di Shumuka lebih sebagai koordinator seluruh ulama keresidenan dan aktif dalam lapangan propaganda. Tetapi, pejabat sekuler tetap mengendalikan pembuatan keputusan dan pelaksanaan kebijakan sehari-hari. Kegiatan-kegiatan Shumuka untuk mengendalikan alilm ulama setempat bekerja lebih efektif jika dipadukan dengan upaya untuk mendidik alim ulama melalui serangkaian kursus latihan dalam rangka menjadikan mereka sebagai propagandis Jepang.
            Kursus Latihan ditangani oleh  Seksi III Shumubu (Penelitian, Kontrol, dan Pengelolaan). Meskipun tugas perekrutan diserahkan kepada Shumuka tetapi staf pengajar di dalam kursus adalah orang-orang Shumubu. Diharapkan bahwa melalui kursus ini, para siswa kursus dapat menularkan ilmu yang didapatnya kepada ulama lain di luar kursus. Selain itu, diharapkan juga ulama ini menjadi agen propaganda untuk menghimbau rakyat supaya mau menjalankan kebijakan pangan Jepang dengan menanam padi, kapas, dsb. Ulama juga berperan dalam memberikan ceramah dan memberikan dorongan kepada para calon romusha mengenai pentingnya peran mereka. Diharapkan juga melalui kursus ini alim ulama dapat bekerja sama dengan pegawai pangreh praja lainnya. Karena bagi Jepang sangat penting untuk menyatukan seluruh elemen masyarakat dalam satu saluran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar