SEJARAH
PERJUANGAN GERAKAN SAMIN
Pada
periode akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, di Jawa terjadi banyak pergerakan
dan pemberontakan yang bersifat mesianistis, baik dalam Islam maupun dalam
ajaran asli Jawa.[1]
Terlebih karena adanya pengaruh kuat dari ramalan-ramalan yang menyatakan akan
datangnya sang Ratu Adil yang akan menyelamatkan orang-orang
tertindas dan menjadi pertanda dari suatu perubahan ke arah yang lebih baik
yang akan membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Periode tahun tersebut memang merupakan
periode tahun yang penuh penderitaan bagi rakyat di Jawa. Eksploitasi sumber
daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki pulau ini diperas habis-habisan
demi mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi pemerintah kolonial. Kekuasaan
pemerintah kolonial yang besar itulah yang membuat rakyat kecil tidak dapat
menggunakan tanah-tanah miliknya sendiri untuk memenuhi kebutuhan keluarga
mereka, sebab seluruh tanah yang ada di dalam kekuasaan pemerintah merupakan
tanah milik pemerintah, rakyat tidak memiliki hak atas apapun yang ada di
wilayah kekuasaan pemerintah kolonial itu, seperti yang ada dalam konsep
kekuasaan kerajaan-kerajaan Jawa. Sehingga, pemerintah kolonial berhak untuk
mengeksploitasi seluruh yang ada di wilayah kekuasaannya baik tenaga maupun
sumber daya alam lainnya yang ada di Jawa. Hal inilah yang telah menimbulkan
kesengsaraan bagi rakyat, terlebih juga karena mereka tidak mendapat upah yang
tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh keluarganya.
Tekanan demi tekanan baik moral maupun fisik
dari pemerintah kolonial ataupun oleh sang modal telah membuat kesabaran
sebagian rakyat mencapai puncaknya. Karena itu, muncul sosok-sosok pemimpin
yang prihatin dengan keadaan zaman dan ingin melepaskan seluruh penderitaan yang
mereka derita selama ini, dengan melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang
mereka anggap telah membuat kesengsaraan bagi mereka. Kepemimpinan yang mereka
dapat seringkali berasal dari para pemimpin Islam atau pun dari orang yang
cukup berpengaruh di pedesaan. Namun, kebanyakan dari gerakan tersebut dianggap
hanya sebagai gangguan kecil bagi pemerintah kolonial. Dari berbagai
gerakan-gerakan yang ada, gerakan Saminismelah yang dianggap paling menarik.
Bahkan, gerakan tersebut masih bertahan hingga sekarang, meski tak segencar
dulu.
Karena
menariknya gerakan Samin ini, maka penulis ingin mengangkat suatu tulisan yang
bertemakan tentang gerakan Samin. Dalam pembahasannya, penulis akan membahas
mengenai siapa pendiri gerakan itu? Apa yang membuatnya sebagai gerakan yang
cukup menarik untuk dibahas? Gerakan itu bertujuan untuk apa? Bagaimana perkembangan gerakan
tersebut?
Sejarah Gerakan Samin
Gerakan Saminisme adalah suatu
gerakan yang dipelopori oleh Surantiko (Surasantiko) Samin (± 1859-1914).
Gerakan tersebut sendiri diambil dari namanya, yakni Samin. Gerakan ini terus
berkembang selama tiga puluh tahun lebih di bagian barat Pegunungan Kendeng,
diselatan Blora, yang tanahnya kering berkapur dan kurang subur, dimana
pemerintah kolonial telah mencoba menggantikan pertanian dengan perkebunan
jati. Menurut Denys Lombard, berbeda dengan gerakan lain yang umumnya dilakukan
hingga berlumuran darah, gerakan Samin ini tidak meminta korban seorang pun,
namun berbekas dalam laporan-laporan resmi yang tebal. Menurutnya, yang menarik
adalah bahwa gerakan ini telah berhasil bertahan dan melampaui krisis besar
tahun 30-an dan pendudukan Jepang, dan secara tak terduga mundul kembali pada
awal Kemerdekaan.[2]
Gerakan ini
secara umum bercirikan bahwa pelakunya adalah para petani, daerah geraknya
tidak luas dalam arti hanya meliputi beberapa desa saja dan sering
terpisah-pisah; artinya tidak ada dukungan atau konsolidasi di antara
gerakan-gerakan itu.[3] Salah satu alasan bahwa pada umumnya gerakan dilakukan oleh para petani
karena petani merupakan pihak yang paling merasakan penindasan dari suatu
kekuasaan, terutama para petani yang tidak memiliki tanah garapan sendiri dan
terpaksa harus menjadi buruh tani, yang upah yang mereka terima sulit untuk
mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Walaupun ada diantara mereka
yang memiliki tanah garapan milik mereka sendiri, tetapi karena adanya modal
yang lebih berkuasa maka tanah-tanah yang mereka miliki pada umumnya dirampas
oleh pemerintah untuk dijadikan perkebunan atau lahan-lahan yang sekiranya
dapat memberikan keuntungan bagi pemerintah. Banyak dari mereka yang menjadi
buruh di perkebunan-perkebunan asing atau milik pemerintah yang hasil pendapatannya sangat sedikit.
Perlakuan kepada mereka pun kurang layak dan sering mendapat perlakuan kasar
baik dari mandor maupun dari tuan tanah. Sehingga, tingkat kesejahteraan petani
terus menurun dan hasil dari keringat mereka tidak bisa mencukupi seluruh
kebutuhan hidup diri sendiri apalagi kebutuhan hidup keluarganya.
Pemimpin gerakan
ini adalah Surantiko (Surasantiko) Samin yang lahir di desa kecil Randublatung
(sebelah barat Bojonegoro), dan ia sama
sekali bukan petani miskin. Ia memiliki 3 bau tanah atau kira-kira 2,4 ha,
suatu jumlah yang tidak sedikit, meskipun terletak di daerah yang kurang subur.
Ia tidak pernah ke mana-mana dan konon buta huruf, tetapi mempunyai pengetahuan
yang baik tentang wayang. Sebagai putra kedua dari lima lelaki bersaudara,
sejak dini ia menganggap dirinya sebagai wujud baru dari tokoh Bima, tokoh kedua
dalam keluarga Pandhawa. Ia selalu menjaga jarak dengan Islam dan mulai tahun
1890, bagaikan seorang guru kebatinan, mulai menyiarkan suatu agama baru yang
disebut “agama Nabi Adam” (elmu Nabi Adam).
Kepada murid-muridnya yang datang dalam jumlah yang terus meningkat (3000 orang
pada tahun 1907), ia mengumumkan tibanya suatu era baru yang akan jatuh pada
bulan Suro, artinya tanggal 14 Februari 1907, dan akan mengakhiri rezim
Belanda, yang digantikan oleh dia sendiri sebagai raja. Sambil menunggu waktunya,
ia menganjurkan perlawanan pasif dan menolak membayar pajak. Kontrolir Belanda,
yang tahu banyak tentang semua itu, mengamankannya sebelum jatuh tanggal itu
dan akhirnya ia dibuang ke Padang, dan meninggal di sana tujuh tahun kemudian. [4]
Menurut Ricklefs, meski mereka menggunaan
istilah-istilah Arab, namun mereka sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan
Islam[5] sama seperti
yang sudah diterangkan oleh Lombard. Kepercayaan ini tampaknya juga diilhami
oleh ajaran Hindhu-Budha. Kepercayaan ini lebih merupakan suatu kumpulan
doktrin-doktrin etika dan agama yang menitikberatkan pada pentingnya kerja
pertanian, kekuatan seksual, perlawanan pasif, dan keutamaan keluarga inti,
sementara menolak membayar pajak, melaksanakan kerja paksa, atau memanfaatkan
sekolah-sekolah pemerintah.[6] Kaum Saminis
menegaskan bahwa mereka tidak percaya pada Allah maupun surga karena mereka
belum pernah melihatnya, sebaliknya menekankan pentingnya persenggamaan yang
diilhami oleh Siwaisme kuno, atau lebih-lebih merupakan kultus Bima yang sudah
terbukti keberadaannya pada abad ke-15.[7] Ada beberapa
hal yang patut dicatat dalam gerakan ini, yakni bahwa mereka anti kekerasan,
rajin, jujur, dan berhasil sebagai petani, serta menghargai sesamanya
sederajat, termasuk kaum wanita.[8]
Agama Adam ini sebetulnya mengandung
aspek-aspek budaya tani Jawa yang dasarnya adalah pemujaan pada Dewi Kesuburan
atau Dewi Ibu. Diyakini bahwa kesatuan antara bumi dan langit menghasilkan
kehidupan di dunia ini. Demikian juga halnya kesatuan yang serasi antara suami
dan istri dalam ikatan perkawinan akan menghasilkan kedamaian dan kesuburan.
Oleh karena itu, orang Samin menghargai perkawinan dan menganggapnya suci serta
sangat menjunjung tinggi wanita. Sebagai petani, mereka juga sangat menghargai
tanahnya dan petani mendapat penghormatan yang tinggi.[9]
Gerakan Samin ini sempat membuat
khawatir pemerintah Kolonial Belanda. Snouck Hurgronje, penasehat Pemerintah
Urusan Bumiputra dan Ahli Islam pada waktu itu yang berpendapat bahwa gerakan
Samin adalah gerakan mesianistis yang non-Islam. Gerakan semacam ini tidaklah
berbahaya menurut pendapatnya karena dapat dengan cepat ditumpas dengan jalan
membuang pemimpin atau penganjurnya.[10] Inilah salah
satu sebab kenapa Surantiko Samin diasingkan dan dibuang ke Sumatra.
Meski sang
penggagas telah dibuang ke Padang, gerakan ini terus berlanjut, bahkan menjadi
lebih besar, terutama di daerah Pati. Di sana seorang bernama Samat telah
menggantikan Samin dan mengumumkan datangnya dua ratu adil sekaligus, yang satu
dari timur dan yang lain dari barat. Kalau Ratu Adil itu datang, akan tiba
suatu masa di mana semua orang akan sama rasa sama rata.[11] Gerakan ini
mencapai puncaknya pada tahun 1914, ketika pihak Belanda memungut pajak kepala
yang semakin besar.[12] Mereka pada
umumnya tidak mau melunasi pajak maupun menjalankan kerja rodi yang dituntut
oleh pemerintah kolonial. Mereka juga menolak setiap kebijaksanaan Dinas
kehutanan untuk memperluas areal pohon jati (houtvesterijen atau hutan milik negara) atau yang melarang
pengambilan kayu bakar seperti lazimnya. Mereka dilaporkan menganjurkan semacam
komunisme elementer yang menyatakan bahwa “tanah, air, dan kayu adalah milik
semua orang” (lemah pada duwe, banyu pada duwe, kayu pada duwe).[13] Lebih lanjut, ajaran Samin ini juga
diartikan sebagai Sami-sami (sama-sama) yang bersumber pada dasar persamaan manusia.
Mereka menganggap semuanya sebagai saudara (sadulur) dan harus saling
tolong-menolong. Mereka juga berpendapat bahwa bumi milik bersama dan untuk
dimanfaatkan bersama-sama demi kesejahteraan semuanya atau bisa dikatakan bahwa
mereka menganut prinsip“sama rasa sama
rata”.[14]
Jadi, gerakan Samin secara umum bertujuan untuk mendirikan suatu negara yang
tentram yang dijiwai oleh orang-orang asli pribumi dan mengusir para penjajah
kulit putih dengan cara yang halus, serta terciptanya masyarakat yang sama rasa
sama rata. Sehingga, terciptalah masyarakat yang saling tolong-menolong,
bantu-membantu seperti saudara sendiri untuk mendapatkan kesejahteraan secara
bersama-sama.
Memasuki dekade kedua abad ke-20,
gerakan Samin semakin meningkat. Tanda-tanda bahwa mereka akan bertindak dengan
kekerasan pun mulai nampak. Di Grobogan, orang Samin dibawah pimpinan Surohidin
dan Pak Engkrak tidak mau menaati peraturan-peraturan Pemerintah. Sedangkan Pak
Karsiyah, salah satu menantu Samin, mengajak Kajen di Pati untuk menentang
Pemerintah dan menamakan dirinya Pangeran Sendang Janur. Di desa Larangan,
orang-orang Samin menolak membayar pajak, menyerang Kepala Desa dan menantang
pasukan Polisi yang datang untuk menghadapi orang-orang itu. Beberapa orang
mengalami luka-luka dan para penyerangnya ditangkap dan dipenjarakan di Pati.
Dalam bentrokan itu, tidak satu orang pun tewas.[15] Selama periode
tersebut, gerakan ini terus berkembang, yakni diantaranya di Blora, Bojonegoro,
Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan dan yang terbanyak di
Tapelan.
Pada dasarnya, ajaran Samin memiliki
kemiripan dengan ajaran Komunis, yakni karena gagasan Saminis yang atheis dan
egaliter itu hampir memiliki kesamaan dengan gagasan-gagasan marxis yang sudah
mulai menyebar. Meski begitu, agaknya Saminisme tidak dipengaruhi olehnya,
sekurang-kurangnya pada tahap pertama.[16] Karena kemiripan pandangan inilah yang
membuat pemerintahan Orde Baru pernah mengirimkan pasukan pada tahun 1967 yang
akhirnya menewaskan Mbah Suro. Mbah Suro (1921-1967), merupakan seorang tokoh
yang mampu membangkitkan kembali gerakan Samin, meski akhirnya tewas di tangan
pasukan TNI pada zaman Orde Baru karena dianggap sebagai seorang komunis.[17]
Jika dilihat secara
sepintas, tampaklah bahwa orang Samin menentang Pemerintah Hindia Belanda
karena mereka tidak puas terhadap tekanan-tekanan ekonomi yang diakibatkan oleh
dijalankannya kebijakan-kebijakan baru oleh pemerintah. Juga terhadap kebijakan
terhadap peraturan kehutanan. Penduduk yang semula bebas memanfaatkan dan
mengambil hasil hutan itu menjadi terhambat. Selain itu, terjadinya
disintegrasi sosial sebagai akibat masuknya pengaruh ekonomi modern kepedesaan
serta penetrasi kebudyaan barat ke dalam sistem orang-orang Jawa telah
mengganggu ketentraman masyarakat Jawa.[18] Itulah
beberapa faktor yang menyebabkan merebaknya gerakan Samin ini, bahkan hingga
bisa bertahan sampai sekarang.
Kesimpulan
Gerakan Samin diprakarsai oleh
Surantiko Samin yang lahir di desa kecil Randublatung (sebelah barat
Bojonegoro). Gerakan ini merupakan gerakan tanpa kekerasan. Tujuan gerakan
Samin adalah mencoba untuk mengusir orang-orang kulit putih (dalam hal ini
adalah pemerintah Hindia Belanda) dengan cara yang halus dan tanpa kekerasan,
dan membangun negara asli pribumi untuk menciptakan masyarakat yang tentram,
makmur, dan damai, dimana semua orang akan merasakan “sama rasa sama rata”. Yang membuat menarik
adalah gerakan ini dilakukan dengan jalan tanpa kekerasan dan bisa bertahan hingga
sekarang. Penyebaran ajaran ini adalah di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang,
Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan dan yang terbanyak di Tapelan.
Daftar Pustaka
Lombard,
Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya 3,
Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Poesponegoro,
Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs.
2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
Jakarta: Serambi.
[1] Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008
(Jakarta: Serambi), hlm. 283.
[2] Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan
Kerajaan-Kerajaan Konsentris (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hlm. 159.
[3] Poesponegoro, Marwati Djoned
dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia IV (Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 323.
[4] Lombard, Denys, op. cit., hlm. 159-160; Menurut
Ricklefs, Samin diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Palembang (Ricklefs, 2010: 361).
[5] Ricklefs, op. cit., hlm 361.
[6] Ibid.; Lombard, Denys, op.
cit., hlm. 160.
[7] Lombard, Denys, loc. cit.
[8] Poesponegoro, Marwati Djoned
dan Nugroho Notosusanto, loc. cit.
[9] Ibid., hlm. 328.
[10] Ibid., hlm. 324.
[11] Lombard, Denys, loc. cit.
[12] Ricklefs, loc. cit.
[13] Lombard, Denys, loc. cit.
[14] Poesponegoro, Marwati Djoned
dan Nugroho Notosusanto, op. cit.,
hlm. 328.
[15] Ibid., hlm. 327.
[16] Lombard, Denys, loc. cit.
[17] Ricklefs, op. cit., hlm. 610-611.
[18] Ibid., hlm 329-332.