Minggu, 10 Februari 2013

TIRTO ADHI SOERJO DAN KESADARAN AWAL KEBANGSAAN INDONESIA

TIRTO ADHI SOERJO DAN KESADARAN AWAL KEBANGSAAN INDONESIA

Apabila anda mempelajari sejarah pergerakan nasional, pastilah anda akan teringat dengan Boedi Oetomo atau SI, atau tokoh-tokoh pergerakan seperti Tiga Serangkai yang terdiri dari Douwes Dekker, Suwardi Suyaningrat, dan Tjipto Mangoenkoesoemo, dan tokoh-tokoh lain seperti Sukarno dan Hatta. Tetapi, kenalkah anda dengan sosok seorang Tirto Adhi Soerjo? Tokoh ini memang tidak banyak dikenal oleh masyarakat umum, karena perannya dalam pembentukan kesadaran awal kebangsaan selama ini tidak banyak dibahas dalam pelajaran-pelajaran sekolah dan hanya terbatas pada sejarah awal pendirian SDI saja. Padahal, banyak pemikiran-pemikirannya yang telah ia curahkan dalam tulisan yang telah banyak memberikan pencerahan terhadap tokoh-tokoh pergerakan lainnya.
Tirto Adhi Soerjo atau biasa disingkat T.A.S merupakan salah satu tokoh pergerakan yang sangat penting perannya dalam kesadaran awal kebangsaan Indonesia. Melalui tulisan-tulisannya, ia dengan berani menyatakan kritik-kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dinilai merugikan rakyat. Ia merupakan seorang tokoh Bumiputra terdidik yang mempelopori pergerakan dengan menggunakan surat kabar. Ia juga merupakan sosok Bumiputra yang menjadikan surat kabar sebagai sarana perjuangan melawan ketidakadilan pemerintah kolonial Belanda.             Ia juga sering menekankan pentingnya organisasi sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingan bangsanya. Karena kritik pedasnya terhadap pemerintah Hindia Belanda dan beberapa kasus ketidakadilan yang ia ungkapkan dalam surat kabar, ia sempat beberapa kali ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun, seluruh kerja kerasnya ternyata telah dilupakan oleh bangsanya sendiri. Oleh sebab itu, penulis akan mencoba untuk memperkenalkan sosok ini sekaligus membahas mengenai peran T.A.S dalam pergerakan kebangsaan Indonesia.

Riwayat Singkat Tirto Adhi Soerjo
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo dilahirkan di Blora sekitar tahun 1880. Nama kecilnya adalah Djokomono. Ia merupakan anak kesembilan dari 11 bersaudara dari seorang bupati yang bernama R.M Tirtodipuro. Kakeknya sendiri juga merupakan Bupati Bojonegoro. Hal ini membuktikan bahwa seluruh keluarga Tirto memiliki darah kepriyayian yang kuat. Oleh karena ia merupakan putra seorang priyayi Jawa, maka ia boleh bersekolah dan mendapat pendidikan Eropa di sekolah yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda seperti HBS dan STOVIA. Sejak kecil, ia tidak terlalu mengenal orang tuanya dengan baik, karena ia sering dititipkan (ngenger) dengan keluarga-keluarga priyayi lainnya yang memiliki jabatan yang penting. Di Jawa, budaya menitipkan anak kepada priyayi lain yang memiliki jabatan yang sama tinggi atau lebih tinggi adalah sesuatu yang wajar. Diharapkan, dengan menitipkan anak ini kepada keluarga lain dapat membentuk karakter kepriyayiannya dengan lebih baik sambil berharap bahwa anak tersebut dapat menjadi priyayi dengan kedudukan yang lebih tinggi daripada ayahnya sendiri.

Tirto Adhi Soerjo Bergerak
Tirto adalah seseorang yang memiliki karakter penggelisah, terutama setelah melihat kesengsaraan dan ketidakadilan yang dialami oleh lapisan bawah bangsa Bumiputra di tanah kelahiran mereka sendiri. Sebagai seseorang berpendidikan Eropa dan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Eropa, ia kurang menyukai budaya feodalisme priyayi Jawa yang cenderung memperbudak golongan dibawahnya baik mereka sadari maupun tidak. Oleh sebab itu, ia lebih memilih menjadi orang bebas daripada harus menjadi priyayi seperti ayah dan seluruh keluarganya.
Setelah ia lulus dari HBS, ia menolak untuk melanjutkan sekolah ke sekolah Pangreh Praja, tetapi kemudian ia pergi ke Batavia untuk meneruskan sekolahnya di STOVIA antara tahun 1893 atau 1894. Namun, sekolahnya di STOVIA tidak dilanjutkan dan ia memutuskan untuk keluar pada tahun 1900. Nampaknya, ia lebih memilih menjadi jurnalis serta menekuni bidang itu secara serius. Oleh karena kepandaiannya dalam dunia tulis-menulis, maka pada 2 April 1902, Tirto diangkat sebagai redaktur Pembrita Betawi yang dipimpin oleh F. Wiggers dan pada 13 Mei 1902, ia berhail naik pangkat menjadi pemimpin redaksi. Namun, jabatan tersebut hanya dipegangnya selama satu tahun karena berselisih paham dengan F. Wiggers. Kemudian, ia memutuskan untuk  pindah ke Bandung pada tahun 1903.
Hingga tahun-tahun tersebut, hampir semua jurnalis Bumiputra bekerja kepada surat kabar Indo atau Tionghoa. Umumnya, tidak ada di antara mereka yang berani mendirikan surat kabarnya sendiri. Namun, kemunculan Tirto Adhi Soerjo telah menjadi angin segar bagi perkembangan jurnalistik Bumiputra. Di Bandung, dengan bantuan dana dari R.A.A. Prawiradiredja, Bupati Cianjur, ia berhasil mendirikan surat kabar yang diberi nama Soenda Berita, yang merupakan surat kabar pertama yang, didirikan, dibiayai, dikelola, disunting dan diterbitkan oleh orang Bumiputra. Hampir sebagian besar pekerjaan dalam surat kabar tersebut dikerjakannya sendiri, mulai dari tulisan yang akan diterbitkan, penyuntingan, penyusunan tampilan surat kabar, dan administrasinya. Namun, surat kabar itu hanya bisa bertahan hingga tahun 1905.
Dari tahun 1905-1906 Tirto mengembara ke Maluku. Di sanalah ia kemudian bertemu dengan putri Raja Bacan, Prinses Fatimah atau lebih dikenal dengan Prinses van Bacan dan menikah dengannya. Princess Fatimah merupakan seorang perempuan yang cerdas. Ia adalah lulusan MULO sehingga mahir berbahasa Belanda. Di kemudian hari, Prinses Fatimah banyak membantu Tirto dalam bidang jurnalistik dan menjadi bagian penting dalam Medan Prijaji.
   Sekembalinya dari Maluku, yakni pada tahun 1906, Tirto masih memiliki keinginan untuk mendirikan suatu organisasi yang akan menjadi wadah bagi bangsanya untuk ikut menolong bangsanya sendiri dari ketidakadilan. Kemudian, Tirto segera mengunjungi beberapa pembesar Bumiputra di Batavia untuk mencari dukungan dan mengetahui pendapat mereka mengenai rencananya untuk mendirikan suatu organsiasi. Kemudian, Tirto mendatangi R.M. Prawirodiningrat, seorang jaksa kepala di Batavia. R.M. Prawirodiningrat ternyata mendukung rencana Tirto, tetapi ia menyarankan agar Tirto mendatangi Wedana Mangga Besar, Thamrin Mohammad Thabri. Menurut R. M. Prawirodiningrat, Thamrin merupakan pejabat Bumiputra yang cukup disegani dan punya pengaruh luas di dalam masyarakat. Tirto kemudian segera mendatangi Thamrin di kediamannya. Di sana, Thamrin juga memberi dukungan kepada Tirto. Dengan adanya dukungan dari para pembesar ini, diharapkan akan mempengaruhi bawahan maupun pembesar lainnya untuk ikut masuk dan turut berpartisipasi dalam organisasi.
Setelah mendapat dukungan dari para pembesar Bumiputra, Tirto segera mengumpulkan para priyayi ini. Setelah semua orang yang hadir tersebut menyetujui akan adanya pendirian suatu organisasi, maka ia segera meresmikan berdirinya Syarikat Prijaji pada tahun 1906. Tirto sendiri yang membuat anggaran dasar dan rumah tangga Syarikat Prijaji dan membacakannya dalam peresmian tersebut. Pada intinya, Syarikat Prijaji merupakan organisasi yang bertujuan untuk memajukan pendidikan anak-anak priyayi dan bangsawan Bumiputra lainnya melalui pemberian beasiswa. Baru dua tahun kemudian setelah berdirinya Syarikat Priyayi, yakni pada tanggal 20 Mei 1908 berdirilah Boedi Oetomo oleh para lulusan STOVIA yang memiliki tujuan yang hampir sama dengan Syarikat Prijaji.
Namun, Syarikat Prijaji yang didirikan oleh Tirto ini ternyata tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkannya. Kegagalan ini disebabkan karena para anggotanya yang terdiri dari para priyayi ini cenderung menikmati kepriyayiannya yang telah mapan dengan gaji yang telah mencukupi yang telah diberikan oleh pemerintah. Mereka juga cenderung statis dalam melihat lingkungan di sekitar mereka karena memang masih sangat dipengaruhi oleh pemikiran feodalisme tradisional. Oleh sebab itu, Syarikat Prijaji cenderung mati suri dan tidak melakukan suatu kegiatan apapun. Di samping itu, Tirto sendiri juga sangat sibuk dalam mempersiapkan pendirian surat kabarnya sendiri, yakni Medan Prijaji pada tahun 1907.
Di awal pendiriannya, Medan Prijaji masih merupakan surat kabar mingguan dan bertahan hingga tahun 1909. Namun, kemudia surat kabar mingguan ini mengalami kemajuan dan menjadi surat kabar harian pada tahun 1909 sampai dengan 1912. Dalam surat kabar ini, pengaruh tulisan Tirto Adhi Soerjo sangat kuat. Ia juga menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya. Dalam Medan Prijaji, Tirto banyak menggunakan bahasa-bahasa sindiran dalam tulisan-tulisan yang dibuatnya. Melalui Medan Prijaji, banyak rakyat yang berkeluh kesah tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan ketidakadilan yang diungkapkan melalui surat kabar ini. Melalui Medan Prijaji pula Tirto menjawab keluhan-keluhan mereka sekaligus melakukan kritikan tajam kepada pemerintah dan para pembesar Bumiputra yang melakukan ketidakadilan terhadap rakyatnya.
Dengan cepat, Medan Prijaji telah menjadi surat kabar paling terkemuka dengan jumlah pelanggan mencapai 2000 orang pada awal 1911. Gaya bahasanya yang tajam tetapi mudah dimengerti oleh para pembaca telah membuat surat kabar tersebut sangat laris. Sejak itu, nama Tirto Adhi Soerjo menjadi semakin terkenal dan semakin disegani baik oleh rakyat yang berasal dari berbagai kalangan maupun oleh musuh-musuhnya. Dalam perkembangannya, Tirto menggunakan Medan Prijaji untuk menumbuhkan kesadaran kebangsaan kepada rakyat Hindia dan menjadi Bumiputra pertama yang membangkitkan bangsanya melalui tulisan.
Keberhasilannya tersebut ternyata tidak membuat hubungannya dengan Gubernur Jendral saat itu menjadi memburuk. Justru, ia dapat membina hubungan yang cukup baik dengan Gubernur Jendral Van Heutsz, yang memberi banyak perhatian dan perlindungan terhadapnya dari berbagai macam gangguan yang mungkin akan didapat Tirto karena kritikan tajamnya terhadap beberapa pihak yang merasa terganggu. Agaknya, Van Heutsz cenderung berusaha bersikap lunak terhadap Tirto sebagai Pribumi terdidik yang berpikiran Eropa sebagai bahan pengamatan, karena ia merupakan fenomena baru di antara kaum Bumiputra di tengah alam kolonial sebagai akibat dari kebijakan Etis. Namun, Gubernur Jendral A.W.F Idenburg yang menggantikan Van Heutsz pada tahun 1909 ternyata memiliki kebijakan lain terhadap Tirto. Gubernur Jendral Idenburg lebih bersikap keras dan tegas terhadap Tirto, sehingga Tirto tidak lagi mendapat perlindungan yang selama ini didapatkannya dari Gubernur Jendral sebelumnya. Baru beberapa bulan setelah datangnya Gubernur Jendral Idenburg, Tirto sudah dibuang ke Lampung selama dua bulan atas tuntutan persdelict, meskipun ia memiliki forum privilegiatum (Forum untuk bangsawan Pribumi dari tingkat paling atas sampai Raden Mas atau anak sampai cucu bupati untuk dapat sederajat dengan orang Eropa di depan pengadilan).
Menjelang akhir dekade abad ke-19, Medan Prijaji mengalami kesulitan finansial, karena perusahaan-perusahaan Eropa enggan memasang iklannya di Medan Prijaji. Oleh sebab itu, para pelanggannya dianjurkan untuk membeli saham perusahaan dan uang langganan diperkecil. Selain itu, Tirto juga menawarkan bantuan hukum dan potongan harga untuk menginap di Hotel Medan Prijaji Batavia kepada para pemegang saham. Hal-hal tersebut merupakan usahanya untuk dapat menjaga kestabilan keuangan Medan Prijaji yang sedang mengalami masalah finansial.
Meskipun mengalami kesulitan finansial karena tantangan kolonial, boleh dikatakan bahwa Medan Prijaji merupakan surat kabar Pribumi yang paling berhasil pada saat itu. Tetapi, keberhasilan tersebut ternyata tidak membuat Tirto berpuas diri. Ia kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islamiah pada tanggal 27 Maret 1909, di rumah R. M. Soerjo di Bogor sebagai perkumpulan Kaoem Mardika (Vrije Burgers). Kemudian, ia juga menggunakan Medan Prijaji untuk mendukung propaganda organisasi tersebut. Sejak itu, demam organsasi pun mulai tumbuh di kalangan Bumiputra, meskipun setahun sebelumnya telah muncul organsasi Boedi Oetomo yang bersifat kedaerahan.
Untuk memperluas gerakannya, SDI terus menjalankan gerakannya dengan mengirimkan propagandis-propagandisnya ke daerah-daerah. SDI juga mendirikan cabang-cabangnya di beberapa daerah tersebut. Dengan cepat, anggota SDI terus mengalami peningkatan secara signifikan dan pekerjaan Tirto untuk membantu anggotanya pun terus meningkat. Tirto sendiri juga sering mengadakan kunjungan ke beberapa daerah untuk melihat perkembangan masyarakat di sana sambil melakukan propagandanya sebagai seorang agitator. Pada akhir bulan Januari atau awal Februari 1911, Tirto tiba di Surakarta atas permintaan dari Martodharsono untuk menyusun anggaran dasar SDI afdeeling Sala.
Dari perjalanan ini beliau berkenalan dengan seorang pedagang batik asal Sala bernama Haji Samanhoedi. Haji Samanhoedi kemudian memimpin SDI afdeeling Sala sebagai cabang SDI Bogor. Sebenarnya, SDI Sala atau Sarekat Islam merupakan organisasi yang didirikan oleh Haji Samanhoedi, tetapi karena adanya peraturan hukum dari Pemerintah Hindia Belanda yang dapat membubarkan suatu organisasi tanpa status hukum yang jelas, maka SI mengaku sebagai bagian dari SDI Bogor. Oleh sebab itu, Tirto diminta untuk menyusun anggaran dasar Sarekat Islam. Anggaran dasar tersebut ditandatangani Tirto tertanggal 9 November 1911 yang dalam pengantarnya menyatakan pembentukan SI (Sarekat Islam). Sejak itu, keanggotaan SI terus mengalami peningkatan yang sangat pesat.
Pada saat itu, Tirto juga membantu SI untuk mendirikan surat kabarnya sendiri. Maka, tidak lama setelah SI berdiri dibentuklah surat kabar berbahasa Jawa Sarotomo. Dalam Sarotomo, Tirto bertindak sebagai redaktur utama, tetapi karena jarak kediaman Tirto sangat jauh, maka pengelolaan Sarotomo diserahkan kepada Martodharsono yang bertindak sebagai redaktur pembantu. Namun, karena kondisi keuangan Medan Prijaji semakin memburuk, maka penerbitan Sarotomo untuk sementara juga dihentikan.
Namun demikian, tantangan yang harus dihadapi Tirto dengan Medan Prijajinya semakin berat, terutama tantangan dari pemerintah kolonial dan orang-orang yang merasa dirugikannya. Oleh sebab itu, kondisi keuangan Medan Prijaji semakin memburuk. Akibatnya, Tirto meninggalkan hutang yang sangat besar dan tidak mampu melunasi biaya percetakan. Akhirnya, pada 22 Agustus 1912 penerbitan Medan Prijaji dihentikan dan Tirto harus menjalani kasus perdata yang mengakibatkan dirinya harus dibuang ke Ambon selama enam bulan sampai awal tahun 1913. Namun, ia baru kembali ke Jawa pada awal 1915. Sejak itu, SI diambil alih secara penuh oleh Haji Samanhoedi.
Sejak SI dipimpin oleh Haji Samanhoedi, jumlah keanggotaan SI terus meningkat. SI pun segera mendirikan berbagai cabangnya di beberapa daerah di Hindia Belanda. Bisa dikatakan bahwa SI merupakan organisasi terbesar yang pernah ada di Hindia Belanda. Di tengah terjadinya peningkatan jumlah anggota, Haji Samahoedi pun lebih memilih mundur dari SI agar perusahaan batiknya tidak gulung tikar karena kesibukannya di dalam organisasi. Tetapi, dengan jumlah anggota yang terus membesar, SI tetap kehilangan sosok Tirto sebagai organisator ulung, sehingga SI tidak memiliki arah kebijakan yang jelas di tingkat elit pimpinannya.
Sekembalinya dari Ambon pada tahun 1915, Tirto sudah tidak memiliki apa-apa dan jatuh miskin. Sejak pengasingannya tersebut, kehidupan Tirto baik secara materiil maupun secara psikologis telah hancur. Kesehatannya juga sering terganggu dan terus sakit-sakitan. Orang-orang yang dulu pernah ada di sekitarnya dan pernah dibantunya pun telah melupakannya. Bahkan SI dan Haji Samanhoedi sekalipun cenderung menjauhinya. Akibatnya, kondisi Tirto semakin memburuk dan pada akhirnya meninggal pada 7 Desember 1918 di Hotel Samirana (dulu Hotel Medan Prijaji) dengan keadaan yang memprihatinkan dan kesepian dalam penjagaan R. Goenawan, salah seorang anak didiknya. Ia kemudian dimakamkan di Mangga Dua Jakarta dan pada tahun 1973 makamnya dipindahkan ke Bogor. Demikianlah akhir hayat seseorang yang telah menyadarkan bangsanya, berjuang dengan sepenuh hati demi bangsanya melalui pena dan tulisan, bahkan rela mengorbankan seluruh hidupnya demi bangsanya, tetapi dengan cepat dilupakan oleh bangsanya sendiri.

Daftar Pustaka
Kartodirjo, Sartono.  1993. Pengantar Sejarah Indonesia baru: Pergerakan Nasional dari Kolonial sampai Nasionalis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pringgodigdo. 1994. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGM Press.
Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Sitorus. 1951. Sedjarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta : Pustaka Rakjat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar