SOLOSCHE
RADIO VEREENIGING, STASIUN RADIO PERTAMA BANGSA INDONESIA
Pernahkah anda mendengar mengenai stasiun radio RRI atau Radio Republik
Indonesia? Hampir seluruh rakyat Indonesia pasti tahu dan pernah mendengar
mengenai stasiun radio kebanggaan bangsa Indonesia ini. RRI memang memiliki
peran yang besar dalam perjuangan rakyat Indonesia untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia, terutama sebagai media komunikasi di antara para pejuang
Indonesia. Tetapi tahukah anda bahwa RRI sebenarnya bukanlah stasiun radio pertama
milik bangsa Indonesia? Sebenarnya RRI memang bukan stasiun radio pertama yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan Solosche Radio Vereeniging
atau SRV. Nah, sebagian besar dari kita pasti belum tahu atau bahkan tidak
pernah mendengar nama Solosche Radio Vereeninging atau SRV yang merupakan
stasiun radio pertama yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh sebab itu,
penulis di sini akan mencoba untuk mengenalkan serta mengupas secara singkat
mengenai sejarah berdirinya stasiun radio pertama yang dimiliki dan dikelola
oleh bangsa Indonesia sendiri.
Awal Dikenalnya Teknologi Pesawat Radio
Mengenal sejarah awal berdirinya stasiun radio milik bangsa Indonesia tidak
dapat dilepaskan dari awal masuknya teknologi radio yang masuk ke tanah Hindia
Belanda (Indonesia). Sebagai daerah kekuasaan Belanda, seluruh aspek kehidupan
di wilayah Hindia Belanda sedikit demi sedikit mulai dipengaruhi oleh
kebudayaan Barat, khususnya dalam bidang teknologi. Memang, salah satu segi
positif dari berkuasanya Belanda atas wilayah Hindia Belanda adalah masuknya
berbagai teknologi yang berkembang di Eropa ke tanah Hindia Belanda. Teknologi-teknologi
tersebut misalnya saja seperti teknologi mesin uap, kereta api, sepeda, mobil,
piringan hitam, telegraph, tilpon, radio, dsb.
Nah, berkenaan dengan masuknya teknologi radio ke Hindia Belanda pada awal
tahun 1920-an, teknologi ini tentu saja hanya bisa dinikmati oleh kalangan
tertentu saja. Oleh sebab itu, bangsa pribumi pertama yang dapat menikmati teknologi
ini adalah dari kalangan kerajaan dan salah satunya adalah Mangkunegaran,
Surakarta. Teknologi yang paling mutahir di zamannya ini mulai dikenal oleh
kalangan Istana Mangkunegaran pada tahun 1927. Ketika itu, Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Ario Mangkunegara VII menerima persembahan dari seorang
Belanda berupa pesawat radio receiver (penerima). Pada waktu itu, hampir semua
orang yang hadir ikut terheran-heran, bagaimana sebuah benda seperti itu dapat
mengeluarkan suara-suara musik yang entah dari mana datangnya.
Setelah itu, Sri Mangkunegara VII segera mempercayakan pengelolaan pesawat
radio tersebut kepada Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Praja Mangkunegaran,
yang ketika itu dijabat oleh RM. Ir. Sarsito Mangunkusumo. Kemudian pada
tanggal 31 Maret 1927, diperdengarkanlah suara pidato pertama Ratu Wilhelmina
yang disiarkan menggunakan pesawat radio secara langsung yang ditujukan ke
wilayah-wilayah jajahan Belanda di Asia, Afrika, dan Amerika. Sejak itu,
pesawat radio yang disebut sebagai “radio toestel” mulai diperdengarkan di
lingkungan Istana Mangkunegaran secara terbuka.
Sejak diperkenalkannya teknologi pesawat radio di lingkungan Istana
Mangkunegaran pada tahun 1927, Sri Mangkunegara VII sebagai penguasa
Mangkunegaran saat itu, mulai tertarik dengan teknologi pesawat radio tersebut.
Kemudian, Sri Mangkunegara VII pun segera membeli sebuah pemancar tua milik
sebuah radio swasta Belanda di Yogyakarta, yakni Djokjasche Radio Vereeeniging
pada tahun 1930. Pemancar ini kemudian diserahkan kepada sebuah perkumpulan seni
Mangkunegaran yang bernama Javansche Kuntskring Mardiraras Mangkunegaran untuk
dipergunakan sebaik-baiknya. Dengan dibelinya alat pemancar tersebut,
Mangkunegaran mulai memiliki sebuah stasiun radio amatir pertamanya dengan kode
pemancar PK2MN.[1]
Sejak itu, alunan musik-musik gamelan atau yang lebih dikenal sebagai klenengan
mulai disiarkan melalui pemancar tersebut. Dengan demikian, meskipun masih
berupa stasiun radio amatir, Sri Mangkunegara VII sudah memulai suatu langkah
awal untuk mewujudkan cita-citanya memiliki sebuah stasiun radio sendiri
sekaligus menjadi pelopor bagi berdirinya stasiun radio pertama milik bangsa
pribumi.
Namun demikian, kualitas suara yang dihasilkan oleh PK2MN masih kurang
bagus. Hal ini disebabkan karena teknologi dan pemancar yang digunakan sudah
cukup tua. Oleh sebab itu, Ir. Sarsito sebagai pengelola pemancar radio
mengusulkan agar segera melakukan pembenahan, dan segera melakukan pembelian
pemancar baru dan peralatan pendukung lainnya, sebab pemancar dan peralatan
pendukung lainnya sudah cukup tua dan memang sudah tidak layak lagi untuk terus
dipakai. Usulan Sarsito ini diungkapkan dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh
seluruh anggota dan pengurus Javansche Kuntskring Mardiraras Mangkunegaran.
Dalam rapat tersebut, usulan Sarsito ini diterima dan organisasi sepakat untuk
menunjuk Ir. Sarsito sebagai pimpinan pelaksana pengadaan alat.
Berdirinya Solosche Radio Vereeniging dan
Perkembangannya
Setelah adanya usulan dari Ir. Sarsito untuk segera melakukan pengadaan
pemancar radio yang baru, nampaknya kesadaran untuk mendirikan suatu stasiun
radio yang lebih profesional dan modern mulai muncul. Oleh sebab itu, pada
tanggal 1 April 1933 diselenggarakanlah rapat yang bertempat di Gedung
Societeit Sasana Suka[2] Surakarta (Monumen
Pers sekarang) yang membahas mengenai rencana pendirian suatu stasiun radio
yang memiliki semangat kebangsaan. Dalam rapat tersebut, akhirnya disepakati
pendirian sebuah perhimpunan siaran radio sekaligus menggagas pendirian suatu
stasiun radio baru yang lebih profesional yang dinamakan dengan Solosche Radio
Vereeniging (SRV). Dalam rapat tersebut juga disepakati pengurus SRV dan
memilih Ir. Sarsito Mangkunkusumo sebagai ketuanya. Berikut adalah susunan
pengurus SRV:
Ketua :
RM. Ir. Sarsito Mangunkusumo
Sekretaris :
RM. Soetarto Hardjowahono
Bendahara :
Lim Tik Liang
Komisaris : RT. Dr. Marmohoesodo, Tjan Ing Twan, Louwson, Wongsohartono, Tjiong Joe Hok, Prijohartono.
Komisi Teknik : RM. Ir. Sarsito Mangunkusumo, Louwson, Tjiong
Joe Hok
Komisi Siaran : RM.
Sutarto Hardjowahono, Liem Tik Liang, Tjan Ing Tjwan
Komisi Propaganda : RT. Dr. Marmohoesodo, Wongsohartono,
Prijohartono
Setelah penetapan susunan pengurus, segera diikuti
dengan pengadaan iuran kontribusi sebesar f 1 (satu gulden) untuk setiap orang
yang hadir dalam rapat sebagai modal awal. Seperti halnya dengan para pelanggan
majalah atau koran yang diwajibkan membayar iuran kontribusi, SRV pun melakukan
hal yang sama untuk setiap anggota pelanggannya. Selain itu, SRV juga
memberikan layanan majalah bulanan Pewarta
SRV kepada setiap pelanggannya yang telah membayar iuran kontribusi. Di
dalam majalah tersebut selain berisi program-progam SRV juga terdapat rincian
laporan keuangan SRV, sehingga para pelanggan dapat mengetahui kondisi keungan
SRV. Selain dari iuran kontribusi para pelanggan yang diadakan setiap bulan,
SRV juga membuka peluang dan bahkan mengharapkan adanya donasi dari para
dermawan. Hal ini disebabkan karena kebutuhan SRV untuk melakukan pembelian
alat pemancar baru membutuhkan dana yang cukup besar, yakni sebesar f 1500. Oleh sebab itu, sejak pendiriannya pada 1
April 1933, SRV masih menggunakan pemancar PK2MN. Namun, karena adanya bantuan
dari Sri Paduka Mangkunegara VII dan beberapa donatur, dana pengadaan alat
pemancar baru tersebut dapat tercukupi.
Alat pemancar yang baru akhirnya dapat didatangkan
pada tanggal 5 Januari 1934. Ini artinya, SRV membutuhkan waktu hampir satu
tahun untuk melakukan pengadaan alat pemancar yang baru. Hal ini dapat dimungkinkan
selain karena mahalnya alat pemancar yang baru dan sulitnya negosiasi antara
SRV dengan PTT (Pos, Telgraph en
Telephone atau Jawatan Pos, Telegraf, dan
Telepon Pemerintah Hindia Belanda), sebab pada awal tahun 1934 Pemerintah
Hindia Belanda juga sedang dalam tahap persiapan untuk mendirikan stasiun radio
pemerintah yang dinamakan Nederlandsch Indische
Radio Oemroep Maatschappij (Perusahaan Siaran Radio Hindia Belanda) atau
NIROM. Pemancar tersebut segera ditempatkan di studio SRV yang berada di
Pendapa Kepatihan, tepatnya berada di sebuah ruangan yang terletak di sebelah
Timur Pendapa. Pada sore harinya, SRV langsung melakukan uji coba pemancar baru
dengan menampilkan gending-gending klenengan yang ditampilkan oleh de Javansche
Kuntskring Mardiraras. Siaran perdana tersebut ternyata dapat ditangkap hingga
ke Belanda. Kemudian, siaran SRV mulai dilakukan secara rutin dimulai pada
tanggal 24 Januari 1934, dengan diawali oleh pidato yang disampaikan Patih
Mangkunegaran KRMT Sarwoko Mangunkusumo yang juga merupakan kakak kandung RM.
Ir. Sarsito Mangunkusumo.
Studio SRV yang ada di Pendapa Kepatihan
Mangkunegaran dianggap kurang mencukupi dan adanya gagasan agar SRV bisa
memiliki sebuah studio sendiri. Oleh sebab itu, dalam Kongres I SRV diputuskan
bahwa SRV harus memiliki studio sendiri. Tetapi, dana yang dibutuhkan untuk
membangun gedung studio ini sangat besar. Ketika itu, Sri Mangkunegara VII
sendiri ikut membantu permasalahan yang dihadapi SRV dengan menghibahkan
sebidang tanahnya yang berada di daerah Kestalan, Surakarta. Setelah dana terkumpul,
pembangunan gedung studio ini pun segera dimulai dan diawali dengan peletakan
batu pertama pada tanggal 15 September 1935 yang dilakukan oleh Gusti Nurul,
Putri Mangkunegara VII. Akhirnya, studio ini pun dapat selesai dan diresmikan
pada tanggal 23 Agustus 1936. Gedung studio SRV saat ini digunakan oleh RRI
Surakarta yang berada di dekat Stasiun Balapan tepatnya di Jl. Abdulrahman
Saleh Kestalan, Surakarta.
Meskipun telah memiliki pemancar baru dan telah memiliki
gedung studio sendiri, SRV masih membutuhkan pemancar yang memiliki kekuatan
yang lebih besar untuk menyempurnakan kualitas siarannya. Oleh sebab itu, pada
tahun 1937 SRV memerlukan untuk mendatangkan pemancar yang berkekuatan sangat
besar. Pemancar ini dinamakan Archipel Zender (Pemancar Kepulauan), atau sebuah
pemancar yang dapat menjangkau hampir seluruh kepulauan Nusantara. Keinginan
SRV ini dapat terwujud karena adanya bantuan pinjaman dari salah seorang
donatur. Oleh sebab itu, kekuatan pemancar yang dimiliki SRV cukup besar,
sehingga mampu menjangkau di hampir seluruh kota di Jawa, Madura, Sumatra,
Bali, Sumbawa, Kalimantan, serta Sulawesi, bahkan hingga ke negri Belanda.
Sebagai sebuah stasiun radio, SRV memiliki banyak
program-program unggulan, terutama program-program siaran yang bersifat
kebudayaan. Hampir semua isi siaran SRV merupakan siaran kebudayaan, terutama
budaya-budaya timur, misalnya saja kesenian Melayu, Sunda, Jawa, Bali,
Tionghoa, Jepang, Arab dsb. Oleh sebab itu, SRV dapat dikatakan merupakan radio
perintis Radio Ketimuran. Namun demikian, karena banyaknya permintaan dari
pelanggan, SRV juga memutar musik-musik Hawaiian, karena musik Hawaiian memang
sedang sangat diminati pada waktu itu. Selain itu, SRV juga memiliki program
ceramah yang dinamakan sebagai siaran pidato mengenai berbagai hal seperti
ceramah kebudayaan, agama, pendidikan, kesehatan dan masalah-masalah teraktual
yang terjadi. Program-program SRV tersebut sangat diminati oleh para
pendengarnya, sehingga jumlah pelanggan SRV terus meningkat dari tahun ke tahun.
Berdirinya SRV pada 1 April 1933 tersebut ternyata
memiliki dampak yang cukup signifikan bagi masyarakat Hindia Belanda yang haus
akan hiburan. Oleh sebab itu, siring dengan berjalannya waktu, jumlah pelanggan
dan pendengar SRV semakin meningkat, sehingga SRV perlu untuk mendirikan
cabang-cabangnya di beberapa kota besar di Hindia Belanda tidak lama setelah
berdirinya SRV pada 1 April 1933. Pendirian cabang-cabang SRV di kota-kota
besar di kawasan Hindia Belanda, misalnya di Kota Batavia, Bandung, Surabaya,
Semarang, Yogyakarta, dan Medan. Di kemudian hari, cabang-cabang ini dapat
berkembang dan mampu untuk mendirikan stasiun radio sendiri dan mengelolanya
secara mandiri. Tetapi, sebagai organisasi yang lebih tua berdiri, SRV terus
melakukan pendampingan bagi stasiun-stasiun radio yang baru saja berdiri di
kota-kota tersebut. SRV pun terus melakukan kerja sama dalam bidang penyiaran
di antara stasiun-stasiun radio tersebut. Program-program yang ditawarkan oleh
stasiun-stasiun radio tersebut lebih dominan pada budaya-budaya timurnya,
sehingga bersifat sebagai Radio Ketimuran.
Selain itu, SRV pun terus dapat bersaing dengan
radio Pemerintah Hindia Belanda, NIROM. Bahkan, SRV dan NIROM terus bersaing
melalui program-programnya, sehingga persaingan ini mengesankan bahwa SRV
sedang melakukan perlawanan budaya menghadapi NIROM yang menawarkan
program-program budaya barat. Apalagi, secara teknologi maupun keuangan, NIROM
jelas jauh lebih unggul dari pada SRV karena didukung penuh oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Dari persaingan ini, SRV ternyata dapat dikatakan berhasil
dalam melakukan perlawanan budaya melawan NIROM, sebab NIROM pun pada akhirnya ikut
menawarkan program-program yang menyuguhkan budaya ketimuran dan me-relay
sebagian program yang disiarkan oleh SRV. Namun demikian, pada awal tahun
1937-an, hubungan kerja sama antara NIROM dan SRV terputus, sehingga semakin
memperuncing persaingan di antara dua stasiun radio besar di kawasan Hindia
Belanda.
Namun, eksistensi SRV akhirnya harus berakhir
dengan datangnya armada militer Jepang ke kawasan Nusantara pada awal tahun
1942-an. Jepang pun segera mengambil alih pusat-pusat pemerintahan yang ada di
Hindia Belanda termasuk mengambil alih stasiun-stasiun radio untuk mendukung
kepentingan militernya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa SRV
merupakan stasiun radio pertama yang dimiliki dan dikelola oleh bangsa
Indonesia sejak masuknya teknologi radio ke Hindia Belanda pada tahun 1920-an. SRV
juga dapat dikatakan merupakan simbol kebangkitan dunia penyiaran yang ada di
Indonesia. SRV merupakan sebuah bukti nyata bahwa bangsa Indonesia pun sudah
mampu mengembangkan teknologi radio dan mampu membangun suatu stasiun radio
yang cukup besar pengaruhnya di Hindia Belanda kala itu. Hadirnya SRV
seharusnya dapat menjadi suatu kebanggaan nasional, sebab pada saat itu bangsa Indonesia melalui SRV telah mampu bersaing dengan NIROM yang mendapat dukungan
penuh dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai penguasa saat itu. Apalagi, secara
teknologi dan secara keuangan NIROM tentu saja jauh lebih unggul jika
dibandingkan dengan SRV. Tetapi, dengan semangat juang dan kuatnya rasa
kebangsaan SRV, telah membuat berbagai keterbatasan dan kendala yang ada,
menjadi sebuah dorongan kuat bagi SRV untuk dapat memuaskan para pendengarnya
dan meraih kesuksesan dalam persaingannya melawan stasiun-stasiun radio besar
lainnya. Oleh sebab itu, SRV bisa dikatakan merupakan simbol perlawanan budaya
melawan budaya barat dan menjadi pendorong semangat kebangsaan bagi bangsa
Indonesia melalui siaran-siaran yang bersifat ketimurannya.
[1] PK2MN merupakan sebuah
kode nama pemancar radio amatir (call sign) milik Mangkunegaran. PK 2 sendiri
merupakan kode radio amatir untuk wilayah Jawa Tengah, sedangkan MN merupakan
kode yang merujuk pada Mangkunegaran.
[2] Sebuah gedung Balai Pertemuan
Kerabat Mangkunegaran yang dibangun pada tahun 1918 atas perintah KGPAA Sri
Mangkunegara VII.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar