Senin, 14 Januari 2013

SOLOSCHE RADIO VEREENIGING, STASIUN RADIO PERTAMA BANGSA INDONESIA

SOLOSCHE RADIO VEREENIGING, STASIUN RADIO PERTAMA BANGSA INDONESIA

Pernahkah anda mendengar mengenai stasiun radio RRI atau Radio Republik Indonesia? Hampir seluruh rakyat Indonesia pasti tahu dan pernah mendengar mengenai stasiun radio kebanggaan bangsa Indonesia ini. RRI memang memiliki peran yang besar dalam perjuangan rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, terutama sebagai media komunikasi di antara para pejuang Indonesia. Tetapi tahukah anda bahwa RRI sebenarnya bukanlah stasiun radio pertama milik bangsa Indonesia? Sebenarnya RRI memang bukan stasiun radio pertama yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan Solosche Radio Vereeniging atau SRV. Nah, sebagian besar dari kita pasti belum tahu atau bahkan tidak pernah mendengar nama Solosche Radio Vereeninging atau SRV yang merupakan stasiun radio pertama yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, penulis di sini akan mencoba untuk mengenalkan serta mengupas secara singkat mengenai sejarah berdirinya stasiun radio pertama yang dimiliki dan dikelola oleh bangsa Indonesia sendiri.

Awal Dikenalnya Teknologi Pesawat Radio
Mengenal sejarah awal berdirinya stasiun radio milik bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari awal masuknya teknologi radio yang masuk ke tanah Hindia Belanda (Indonesia). Sebagai daerah kekuasaan Belanda, seluruh aspek kehidupan di wilayah Hindia Belanda sedikit demi sedikit mulai dipengaruhi oleh kebudayaan Barat, khususnya dalam bidang teknologi. Memang, salah satu segi positif dari berkuasanya Belanda atas wilayah Hindia Belanda adalah masuknya berbagai teknologi yang berkembang di Eropa ke tanah Hindia Belanda. Teknologi-teknologi tersebut misalnya saja seperti teknologi mesin uap, kereta api, sepeda, mobil, piringan hitam, telegraph, tilpon, radio, dsb.  
Nah, berkenaan dengan masuknya teknologi radio ke Hindia Belanda pada awal tahun 1920-an, teknologi ini tentu saja hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Oleh sebab itu, bangsa pribumi pertama yang dapat menikmati teknologi ini adalah dari kalangan kerajaan dan salah satunya adalah Mangkunegaran, Surakarta. Teknologi yang paling mutahir di zamannya ini mulai dikenal oleh kalangan Istana Mangkunegaran pada tahun 1927. Ketika itu, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara VII menerima persembahan dari seorang Belanda berupa pesawat radio receiver (penerima). Pada waktu itu, hampir semua orang yang hadir ikut terheran-heran, bagaimana sebuah benda seperti itu dapat mengeluarkan suara-suara musik yang entah dari mana datangnya.
Setelah itu, Sri Mangkunegara VII segera mempercayakan pengelolaan pesawat radio tersebut kepada Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Praja Mangkunegaran, yang ketika itu dijabat oleh RM. Ir. Sarsito Mangunkusumo. Kemudian pada tanggal 31 Maret 1927, diperdengarkanlah suara pidato pertama Ratu Wilhelmina yang disiarkan menggunakan pesawat radio secara langsung yang ditujukan ke wilayah-wilayah jajahan Belanda di Asia, Afrika, dan Amerika. Sejak itu, pesawat radio yang disebut sebagai “radio toestel” mulai diperdengarkan di lingkungan Istana Mangkunegaran secara terbuka.
Sejak diperkenalkannya teknologi pesawat radio di lingkungan Istana Mangkunegaran pada tahun 1927, Sri Mangkunegara VII sebagai penguasa Mangkunegaran saat itu, mulai tertarik dengan teknologi pesawat radio tersebut. Kemudian, Sri Mangkunegara VII pun segera membeli sebuah pemancar tua milik sebuah radio swasta Belanda di Yogyakarta, yakni Djokjasche Radio Vereeeniging pada tahun 1930. Pemancar ini kemudian diserahkan kepada sebuah perkumpulan seni Mangkunegaran yang bernama Javansche Kuntskring Mardiraras Mangkunegaran untuk dipergunakan sebaik-baiknya. Dengan dibelinya alat pemancar tersebut, Mangkunegaran mulai memiliki sebuah stasiun radio amatir pertamanya dengan kode pemancar PK2MN.[1] Sejak itu, alunan musik-musik gamelan atau yang lebih dikenal sebagai klenengan mulai disiarkan melalui pemancar tersebut. Dengan demikian, meskipun masih berupa stasiun radio amatir, Sri Mangkunegara VII sudah memulai suatu langkah awal untuk mewujudkan cita-citanya memiliki sebuah stasiun radio sendiri sekaligus menjadi pelopor bagi berdirinya stasiun radio pertama milik bangsa pribumi.
Namun demikian, kualitas suara yang dihasilkan oleh PK2MN masih kurang bagus. Hal ini disebabkan karena teknologi dan pemancar yang digunakan sudah cukup tua. Oleh sebab itu, Ir. Sarsito sebagai pengelola pemancar radio mengusulkan agar segera melakukan pembenahan, dan segera melakukan pembelian pemancar baru dan peralatan pendukung lainnya, sebab pemancar dan peralatan pendukung lainnya sudah cukup tua dan memang sudah tidak layak lagi untuk terus dipakai. Usulan Sarsito ini diungkapkan dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh seluruh anggota dan pengurus Javansche Kuntskring Mardiraras Mangkunegaran. Dalam rapat tersebut, usulan Sarsito ini diterima dan organisasi sepakat untuk menunjuk Ir. Sarsito sebagai pimpinan pelaksana pengadaan alat.

Berdirinya Solosche Radio Vereeniging dan Perkembangannya
Setelah adanya usulan dari Ir. Sarsito untuk segera melakukan pengadaan pemancar radio yang baru, nampaknya kesadaran untuk mendirikan suatu stasiun radio yang lebih profesional dan modern mulai muncul. Oleh sebab itu, pada tanggal 1 April 1933 diselenggarakanlah rapat yang bertempat di Gedung Societeit Sasana Suka[2] Surakarta (Monumen Pers sekarang) yang membahas mengenai rencana pendirian suatu stasiun radio yang memiliki semangat kebangsaan. Dalam rapat tersebut, akhirnya disepakati pendirian sebuah perhimpunan siaran radio sekaligus menggagas pendirian suatu stasiun radio baru yang lebih profesional yang dinamakan dengan Solosche Radio Vereeniging (SRV). Dalam rapat tersebut juga disepakati pengurus SRV dan memilih Ir. Sarsito Mangkunkusumo sebagai ketuanya. Berikut adalah susunan pengurus SRV:
Ketua                       : RM. Ir. Sarsito Mangunkusumo
Sekretaris                 : RM. Soetarto Hardjowahono
Bendahara                : Lim Tik Liang
Komisaris                 :  RT. Dr. Marmohoesodo, Tjan Ing Twan, Louwson,     Wongsohartono, Tjiong Joe Hok, Prijohartono.
Komisi Teknik          :  RM. Ir. Sarsito Mangunkusumo, Louwson, Tjiong Joe Hok
Komisi Siaran           :  RM. Sutarto Hardjowahono, Liem Tik Liang, Tjan Ing Tjwan
Komisi Propaganda  :  RT. Dr. Marmohoesodo, Wongsohartono, Prijohartono
Setelah penetapan susunan pengurus, segera diikuti dengan pengadaan iuran kontribusi sebesar f 1 (satu gulden) untuk setiap orang yang hadir dalam rapat sebagai modal awal. Seperti halnya dengan para pelanggan majalah atau koran yang diwajibkan membayar iuran kontribusi, SRV pun melakukan hal yang sama untuk setiap anggota pelanggannya. Selain itu, SRV juga memberikan layanan majalah bulanan Pewarta SRV kepada setiap pelanggannya yang telah membayar iuran kontribusi. Di dalam majalah tersebut selain berisi program-progam SRV juga terdapat rincian laporan keuangan SRV, sehingga para pelanggan dapat mengetahui kondisi keungan SRV. Selain dari iuran kontribusi para pelanggan yang diadakan setiap bulan, SRV juga membuka peluang dan bahkan mengharapkan adanya donasi dari para dermawan. Hal ini disebabkan karena kebutuhan SRV untuk melakukan pembelian alat pemancar baru membutuhkan dana yang cukup besar, yakni sebesar f 1500.  Oleh sebab itu, sejak pendiriannya pada 1 April 1933, SRV masih menggunakan pemancar PK2MN. Namun, karena adanya bantuan dari Sri Paduka Mangkunegara VII dan beberapa donatur, dana pengadaan alat pemancar baru tersebut dapat tercukupi.
Alat pemancar yang baru akhirnya dapat didatangkan pada tanggal 5 Januari 1934. Ini artinya, SRV membutuhkan waktu hampir satu tahun untuk melakukan pengadaan alat pemancar yang baru. Hal ini dapat dimungkinkan selain karena mahalnya alat pemancar yang baru dan sulitnya negosiasi antara SRV dengan PTT (Pos, Telgraph en Telephone  atau Jawatan Pos, Telegraf, dan Telepon Pemerintah Hindia Belanda), sebab pada awal tahun 1934 Pemerintah Hindia Belanda juga sedang dalam tahap persiapan untuk mendirikan stasiun radio pemerintah yang dinamakan Nederlandsch Indische Radio Oemroep Maatschappij (Perusahaan Siaran Radio Hindia Belanda) atau NIROM. Pemancar tersebut segera ditempatkan di studio SRV yang berada di Pendapa Kepatihan, tepatnya berada di sebuah ruangan yang terletak di sebelah Timur Pendapa. Pada sore harinya, SRV langsung melakukan uji coba pemancar baru dengan menampilkan gending-gending klenengan yang ditampilkan oleh de Javansche Kuntskring Mardiraras. Siaran perdana tersebut ternyata dapat ditangkap hingga ke Belanda. Kemudian, siaran SRV mulai dilakukan secara rutin dimulai pada tanggal 24 Januari 1934, dengan diawali oleh pidato yang disampaikan Patih Mangkunegaran KRMT Sarwoko Mangunkusumo yang juga merupakan kakak kandung RM. Ir. Sarsito Mangunkusumo.
Studio SRV yang ada di Pendapa Kepatihan Mangkunegaran dianggap kurang mencukupi dan adanya gagasan agar SRV bisa memiliki sebuah studio sendiri. Oleh sebab itu, dalam Kongres I SRV diputuskan bahwa SRV harus memiliki studio sendiri. Tetapi, dana yang dibutuhkan untuk membangun gedung studio ini sangat besar. Ketika itu, Sri Mangkunegara VII sendiri ikut membantu permasalahan yang dihadapi SRV dengan menghibahkan sebidang tanahnya yang berada di daerah Kestalan, Surakarta. Setelah dana terkumpul, pembangunan gedung studio ini pun segera dimulai dan diawali dengan peletakan batu pertama pada tanggal 15 September 1935 yang dilakukan oleh Gusti Nurul, Putri Mangkunegara VII. Akhirnya, studio ini pun dapat selesai dan diresmikan pada tanggal 23 Agustus 1936. Gedung studio SRV saat ini digunakan oleh RRI Surakarta yang berada di dekat Stasiun Balapan tepatnya di Jl. Abdulrahman Saleh Kestalan, Surakarta.
Meskipun telah memiliki pemancar baru dan telah memiliki gedung studio sendiri, SRV masih membutuhkan pemancar yang memiliki kekuatan yang lebih besar untuk menyempurnakan kualitas siarannya. Oleh sebab itu, pada tahun 1937 SRV memerlukan untuk mendatangkan pemancar yang berkekuatan sangat besar. Pemancar ini dinamakan Archipel Zender (Pemancar Kepulauan), atau sebuah pemancar yang dapat menjangkau hampir seluruh kepulauan Nusantara. Keinginan SRV ini dapat terwujud karena adanya bantuan pinjaman dari salah seorang donatur. Oleh sebab itu, kekuatan pemancar yang dimiliki SRV cukup besar, sehingga mampu menjangkau di hampir seluruh kota di Jawa, Madura, Sumatra, Bali, Sumbawa, Kalimantan, serta Sulawesi, bahkan hingga ke negri Belanda.
Sebagai sebuah stasiun radio, SRV memiliki banyak program-program unggulan, terutama program-program siaran yang bersifat kebudayaan. Hampir semua isi siaran SRV merupakan siaran kebudayaan, terutama budaya-budaya timur, misalnya saja kesenian Melayu, Sunda, Jawa, Bali, Tionghoa, Jepang, Arab dsb. Oleh sebab itu, SRV dapat dikatakan merupakan radio perintis Radio Ketimuran. Namun demikian, karena banyaknya permintaan dari pelanggan, SRV juga memutar musik-musik Hawaiian, karena musik Hawaiian memang sedang sangat diminati pada waktu itu. Selain itu, SRV juga memiliki program ceramah yang dinamakan sebagai siaran pidato mengenai berbagai hal seperti ceramah kebudayaan, agama, pendidikan, kesehatan dan masalah-masalah teraktual yang terjadi. Program-program SRV tersebut sangat diminati oleh para pendengarnya, sehingga jumlah pelanggan SRV terus meningkat dari tahun ke tahun.
Berdirinya SRV pada 1 April 1933 tersebut ternyata memiliki dampak yang cukup signifikan bagi masyarakat Hindia Belanda yang haus akan hiburan. Oleh sebab itu, siring dengan berjalannya waktu, jumlah pelanggan dan pendengar SRV semakin meningkat, sehingga SRV perlu untuk mendirikan cabang-cabangnya di beberapa kota besar di Hindia Belanda tidak lama setelah berdirinya SRV pada 1 April 1933. Pendirian cabang-cabang SRV di kota-kota besar di kawasan Hindia Belanda, misalnya di Kota Batavia, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Medan. Di kemudian hari, cabang-cabang ini dapat berkembang dan mampu untuk mendirikan stasiun radio sendiri dan mengelolanya secara mandiri. Tetapi, sebagai organisasi yang lebih tua berdiri, SRV terus melakukan pendampingan bagi stasiun-stasiun radio yang baru saja berdiri di kota-kota tersebut. SRV pun terus melakukan kerja sama dalam bidang penyiaran di antara stasiun-stasiun radio tersebut. Program-program yang ditawarkan oleh stasiun-stasiun radio tersebut lebih dominan pada budaya-budaya timurnya, sehingga bersifat sebagai Radio Ketimuran.
Selain itu, SRV pun terus dapat bersaing dengan radio Pemerintah Hindia Belanda, NIROM. Bahkan, SRV dan NIROM terus bersaing melalui program-programnya, sehingga persaingan ini mengesankan bahwa SRV sedang melakukan perlawanan budaya menghadapi NIROM yang menawarkan program-program budaya barat. Apalagi, secara teknologi maupun keuangan, NIROM jelas jauh lebih unggul dari pada SRV karena didukung penuh oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dari persaingan ini, SRV ternyata dapat dikatakan berhasil dalam melakukan perlawanan budaya melawan NIROM, sebab NIROM pun pada akhirnya ikut menawarkan program-program yang menyuguhkan budaya ketimuran dan me-relay sebagian program yang disiarkan oleh SRV. Namun demikian, pada awal tahun 1937-an, hubungan kerja sama antara NIROM dan SRV terputus, sehingga semakin memperuncing persaingan di antara dua stasiun radio besar di kawasan Hindia Belanda.
Namun, eksistensi SRV akhirnya harus berakhir dengan datangnya armada militer Jepang ke kawasan Nusantara pada awal tahun 1942-an. Jepang pun segera mengambil alih pusat-pusat pemerintahan yang ada di Hindia Belanda termasuk mengambil alih stasiun-stasiun radio untuk mendukung kepentingan militernya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa SRV merupakan stasiun radio pertama yang dimiliki dan dikelola oleh bangsa Indonesia sejak masuknya teknologi radio ke Hindia Belanda pada tahun 1920-an. SRV juga dapat dikatakan merupakan simbol kebangkitan dunia penyiaran yang ada di Indonesia. SRV merupakan sebuah bukti nyata bahwa bangsa Indonesia pun sudah mampu mengembangkan teknologi radio dan mampu membangun suatu stasiun radio yang cukup besar pengaruhnya di Hindia Belanda kala itu. Hadirnya SRV seharusnya dapat menjadi suatu kebanggaan nasional, sebab pada saat itu bangsa Indonesia melalui SRV telah mampu bersaing dengan NIROM yang mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai penguasa saat itu. Apalagi, secara teknologi dan secara keuangan NIROM tentu saja jauh lebih unggul jika dibandingkan dengan SRV. Tetapi, dengan semangat juang dan kuatnya rasa kebangsaan SRV, telah membuat berbagai keterbatasan dan kendala yang ada, menjadi sebuah dorongan kuat bagi SRV untuk dapat memuaskan para pendengarnya dan meraih kesuksesan dalam persaingannya melawan stasiun-stasiun radio besar lainnya. Oleh sebab itu, SRV bisa dikatakan merupakan simbol perlawanan budaya melawan budaya barat dan menjadi pendorong semangat kebangsaan bagi bangsa Indonesia melalui siaran-siaran yang bersifat ketimurannya.



[1]     PK2MN merupakan  sebuah kode nama pemancar radio amatir (call sign) milik Mangkunegaran. PK 2 sendiri merupakan kode radio amatir untuk wilayah Jawa Tengah, sedangkan MN merupakan kode yang merujuk pada Mangkunegaran.
[2]     Sebuah gedung Balai Pertemuan Kerabat Mangkunegaran yang dibangun pada tahun 1918 atas perintah KGPAA Sri Mangkunegara VII.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar