JUGUN IANFU DI
INDONESIA, IRONI PEREMPUAN INDONESIA MASA PENDUDUKAN JEPANG
Awal tahun 1942 merupakan tahun-tahun penuh pengharapan bagi rakyat
Indonesia, sebab rakyat
Indonesia menganggap, bahwa Jepang akan bisa melepaskan penderitaan rakyat dari
belenggu penjajahan Belanda. Di awal tahun tersebut, Jepang memulai serangannya
di wilayah Pasifik yang sudah dimulai sejak 8 Desember 1941. Di awal tahun 1942
Jepang mulai menduduki wilayah-wilayah di Indonesia, meski tidak secara
serempak.
Gurita Jepang di sebelah barat Kalimantan
yang tiba pada tanggal 24 Februari di Kepulauan Anambas terdiri dari empat
penjelajah berat, tiga penjelajah ringan, sebuah kapal induk ringan. Terjadilah pertempuran antara sekutu melawan
Jepang di sekitar Pulau Bawean, dekat Surabaya, di utara Tuban. Di sini, baik taktis maupun strategis, Jepang mencapai kemenangan gemilang,
tanpa kehilangan satu kapal pun.
Satu minggu kemudian, 8 Maret
1942, tentara Belanda di Pulau Jawa menyerah kepada Jepang. Hanya dalam
beberapa hari selama dan sesudah Pertempuran Laut Jawa itu, hancurlah
kapal-kapal penjelajah sekutu.[1] Hingga
akhirnya pada bulan yang sama, Jepang secara resmi berhasil menduduki seluruh
wilayah di Indonesia. Jepang saat itu menawarkan harapan baru bagi rakyat
Indonesia.
Saat itu, Indonesia di bawah pemerintahan militer Jepang telah
dibagi menjadi tiga wilayah. Sumatera ditempatkan di bawah Angkatan Darat ke-25
(Rikugun), sedangkan Jawa dan Madura berada di bawah Angkatan Darat ke-16;
kedua wilayah ini berada di bawah Angkatan Darat wilayah ke-7 dengan markas
besar di Singapura. Kalimantan dan Indonesia Timur dikuasai oleh Angkatan Laut
(Kaigun).[2]
Pada saat itu, tujuan utama Jepang
adalah menyusun dan mengarahkan kembali perekonomian Indonesia dalam rangka
menopang upaya perang Jepang dan rencan-rencananya bagi dominasi ekonomi jangka
panjang terhadap Asia Timur dan Tenggara.[3] Kebijakan
tersebut telah menimbulkan masalah baru di Indonesia. Perampasan paksa oleh
tentara Jepang terjadi di mana-mana. Maka, seperti wilayah-wilayah pendudukan
lainnya, Indonesia menjadi suatu negri yang tingkat penderitaan, inflasi,
ketekoran, pencatutan, korupsi, pasar gelap, dan kematiaannya sangat ekstrem.
Menurut Ricklefs, masa pendudukan Jepang adalah satu-satunya periode salama dua
abad di mana jumlah penduduk tidak meningkat secara berarti.[4] Banyak rakyat
tewas kelaparan, dan para wanitanya diperkosa atau dijadikan Jugun Ianfu.
Jugun ianfu adalah istilah yang
digunakan untuk merujuk kepada wanita penghibur yang terlibat dalam perbudakan
seks selama Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah perang.[5] Pada
kenyataannya Ianfu bukan merupakan perempuan penghibur tetapi perbudakan
seksual yang brutal, terencana, serta dianggap masyarakat internasional sebagai
kejahatan perang. Diperkirakan 200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13
hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang.[6] Keberadaan
Jugun Ianfu pada saat itu sangat diperlukan oleh tentara Jepang. Dalam kondisi
peperangan, kondisi tentara Jepang saat itu tentunya berada dalam keadaan yang
labil. Terutama mengenai masalah mental dan moral tentara Jepang dalam
menghadapi musuh-musuhnya. Jauh dari keluarga dan kekhawatirkan akan datangnya
kematian dalam medan perang. Kondisi ini mengakibatkan tentara Jepang melakukan
pelampiasan seksual secara brutal dengan cara melakukan perkosaan masal yang
mengakibatkan mewabahnya penyakit kelamin yang menjangkiti tentara Jepang. Hal
ini tentunya melemahkan kekuatan angkatan perang kekaisaran Jepang. Situasi ini
memunculkan gagasan untuk merekrut perempuan-perempuan lokal, menyeleksi
kesehatan dan memasukan mereka ke dalam Ianjo-Ianjo sebagai rumah
bordil militer Jepang dan dijadikan Jugun Ianfu.[7]
.
Keberadaan Jugun
Ianfu di Indonesia
Kedatangan tentara Jepang ke
Indonesia di tahun 1942 yang pada awalnya disambut dengan suka cita oleh
segenap rakyat Indonesia, telah berubah menjadi duka cita. Kelaparan dan
kebrutalan tentara Jepang menyebabkan meningkatnya tingkat kematian rakyat
Indonesia. Penderitaan yang lebih dalam lagi, baik fisik maupun psikologi dialami
oleh para Jugun Ianfu di Indonesia.
Berselang beberapa bulan setelah
kedatangan tentara Dai Nippon atau tentara Jepang, mulai ada Jugun ianfu
(wanita penyaman atau penghibur) dari Korea yang ditempatkan di restoran, bar
atau club (dengan katana ditulis kurabu) Jepang. Di sana pada malam hari sering
terdengar nyanyian, jeritan dan teriakan serta banyak yang keluar dari sana
Serdadu Jepang yang mabuk dengan muka merah. Di kota-kota yang banyak tentara Jepang
atau Nippon, restoran-restoran mulai menjamur[8], termasuk
Ianjo-Ianjo (rumah bordil) yang didirikan di tempat yang banyak tentara
Jepangnya. Kemudian, tidak lama berselang, dimulailah perekrutan Jugun Ianfu
Indonesia.
Ianjo pertama di dunia
dibangun di Shanghai, Cina tahun 1932. Pembangunan Ianjo di Cina
dijadikan model untuk pembangunan Ianjo-Ianjo di seluruh kawasan Asia
Pasifik termasuk Indonesia sejak pendudukan Jepang tahun 1942-1945 telah
dibangun Ianjo diberbagai wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Jawa, Nusa Tenggara, Sumatra, Papua.[9]
Seperti yang sudah diterangkan di
atas, Jugun Ianfu adalah wanita yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan
seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan
Jepang lainnya pada kurun waktu tahun 1942-1945.[10] Keberadaan Jugun
Ianfu sendiri merupakan obat penawar tentara Jepang dalam menghadapi situasi
perang yang dapat membuat kondisi psikologi tentara Jepang menjadi lemah. Oleh
sebab itu, mereka bisa dikatakan sebagai para budak seks para tentara Jepang.
Mereka adalah korban kekerasan seksual para tentara Jepang. Keberadaan Jugun
Ianfu di Indonesia merupakan sebuah ironi bagi perjalanan sejarah bangsa
Indonesia. Keberadaan Jugun Ianfu di Indonesia tidak lepas dari keberadaan
tentara Jepang di Indonesia. Para wanita ini berasal dari wilayah-wilayah
koloni Jepang, termasuk Indonesia.
Jugun Ianfu tersebut berasal dari
Korea Selatan, Korea Utara, Cina, Filipina, Taiwan, Timor Leste, Malaysia, dan
Indonesia. Sebagian kecil di antaranya dari Belanda dan Jepang sendiri. Mereka
dibawa ke wilayah medan pertempuran untuk melayani kebutuhan seksual sipil dan
militer Jepang baik di garis depan pertempuran maupun di wilayah garis belakang
pertempuran,[11]
sekaligus menjadi penambah moril tentara Jepang dalam menjalani pertempuran di
medan perang.
Untuk kasus di Indonesia,
perekrutan para Jugun Ianfu dilakukan ada yang dengan cara penipuan maupun
dengan jalan kekerasan. Setelah mereka terkumpul, mereka kemudian diseleksi
kesehatannya dan dimasukan ke dalam Ianjo-Ianjo sebagai rumah bordil
militer Jepang. Modus perekrutannya diantaranya adalah dengan dijanjikannya
sekolah gratis, pekerjaan sebagai pemain sandiwara, pekerja rumah tangga,
pelayan rumah makan dan juga dengan cara kasar dengan menteror disertai tindak
kekerasan, menculik bahkan memperkosa di depan keluarga.[12]
Menurut mantan wanita penghibur
yang masih hidup, ia menggambarkan rumah bordil Jepang sebagai tempat yang
mengerikan. Wanita dibagi menjadi tiga atau empat kategori, tergantung lamanya
pelayanan. Wanita yang paling baru yang lebih tidak mungkin terkena penyakit
kelamin ditempatkan di kategori tertinggi. Namun, dengan berjalannya waktu,
wanita penghibur diturunkan kategorinya karena kemungkinan terkena penyakit
kelamin lebih tinggi. Ketika mereka dianggap terlalu berpenyakit untuk
digunakan lebih lanjut, mereka diabaikan. Banyak wanita melaporkan uterus
mereka membusuk dari penyakit yang diperoleh oleh ribuan lelaki dalam waktu
beberapa tahun.[13]
Dalam pengakuan salah satu eks
Jugun Ianfu Indonesia, yakni Mardiyem, di situ diterangkan bahwa pada tahun
1943, Mardiyem ketika itu masih seorang remaja berusia 13 tahun. Ia telah yatim
piatu pada waktu itu. Ibunya meninggal ketika ia masih bayi dan ayahnya
menyusul sepuluh tahun kemudian. Mardiyem kecil yang hobi menyanyi ini
menyangka akan diajak masuk dalam kelompok sandiwara ketika tentara Jepang
melakukan pendaftaran untuk anak-anak perempuan. Mardiyem kecil tidak merasa
curiga ketika ia harus menjalani pemeriksaan kesehatan. Mardiyem bersama 48
anak perempuan lainnya dibawa ke Kalimantan atau Borneo pada waktu itu.
Seminggu sesampainya di Banjarmasin Mardiyem tidak dipekerjakan di kelompok
sandiwara tapi dimasukkan ke hotel Tlawang yang sebenarnya adalah rumah bordil.
Mardiyem ditempatkan di kamar nomor 11 dan ia pun diberi nama baru, nama Jepang
“Momoye”. Baru Mardiyem menyadari bahwa ia dan teman-temannya dijadikan apa
yang disebutnya “orang nakal”. Tendangan dan pukulan seringkali diterima dari
para tamunya apabila ia berani menolak permintaan tamu Jepangnya.[14]
Kasus lain menyatakan bahwa mereka
diperkosa dan disiksa secara kejam. Dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara
Jepang sebanyak 10 hingga 20 orang siang dan malam serta dibiarkan kelaparan. Kemudian
di aborsi secara paksa apabila hamil. Banyak perempuan mati dalam Ianjo
karena sakit, bunuh diri atau disiksa sampai mati.[15]
Menurut Hilde Jenssen, ada suatu
kasus di suatu pulau, terjadi pembunuhan massal oleh tentara Jepang akibat
adanya pembalasan dendam dari tentara Jepang karena penolakan masyarakat
terhadap permintaan Jepang yang meminta untuk menyerahkan perempuan, begitu
juga yang terjadi di Sumatera.[16] Menurutnya,
untuk tidak mengurangi rasa hormatnya kepada para korban Jugun Ianfu, maka ia
mnyebut mereka sebagai pekerja paksa seksual[17],
sebab mereka semua bisa menjadi Jugun Ianfu atas dasar keterpaksaan. Siapa pun
tidak akan ada yang senang dan rela jika menjadi Jugun Ianfu. Situasilah yang
memaksa mereka untuk menjadi seorang Jugun Ianfu.
Kehidupan Eks Jugun
Ianfu setelah Berakhirnya Perang Pasifik dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Setelah perang Asia Pasifik usai Jugun
Ianfu yang masih hidup didera perasaan malu untuk pulang ke kampung
halaman. Mereka memilih hidup ditempat lain dan mengunci masa lalu yang kelam
dengan berdiam dan mengucilkan diri. Hidup dalam kemiskinan ekonomi dan
disingkirkan masyarakat. Mengalami penderitaan fisik, menanggung rasa malu dan
perasaan tak berharga hingga akhir hidupnya.[18]
Umumnya, mereka selalu dicap
sebagai “bekas Jepang” oleh masyarakat sekitar. Mereka sudah terlanjur mendapat
stigma negatif oleh masyarakat. Mereka dianggap sebagai pelacur. Padahal,
mereka sendiri tidak ada yang berharap menjadi seorang Jugun Ianfu. Mereka
menjadi Jugun Ianfu karena terpaksa.
Setelah berakhirnya Perang
Pasifik, ada berbagai macam cerita mengenai perjalanan hidup eks Jugun Ianfu.
Dalam penelitian yang dilakukan Hilde Jenssen, setelah berakhirnya masa Perang,
ada eks korban Jugun Ianfu yang menjadi pemijat seperti ibu Emah. Ada juga yang
berjualan apa adanya di kampung, seperti jualan gorengan. Bila tidak punya
modal, mereka cari pekerjaan harian, seperti pembantu. Ada kelompok yang
menikah dengan mantan tentara, kehidupan mereka cukup baik, karena mereka
terima pensiun. Setidaknya menjadi basis dari pendapatan mereka, sehingga mampu
menyekolahkan anak mereka. Seperti kasus di Kalimantan, dimana kehidupan cukup
baik, seorang ibu mempunyai anak yang menjadi pegawai, menjadi tokoh
masyarakat, kemudian saat ia sering diwawancara, dan terlihat potret dirinya,
sempat membuat pertunangan cucunya tertunda kerena merasa malu, sebab foto nenek
mereka muncul di koran-koran.[19]
Kebanyakan dari mereka hidup
dengan perasaan menanggung malu. Sehingga, tidak hanya penderitaan secara fisik
saja tetapi juga secara psikis. Karena ada sebagian dari mereka yang tidak bisa
lagi mendapatkan keturunan karena kerusakan pada rahim. Atau ada yang menderita
penyakit tertentu sebagai akibat dari menjadi seorang Jugun Ianfu yang
berpengaruh pada fisik mereka. Menurut Hilde, mereka kemudian menjadi semakin
tertekan dengan tidak dapat memiliki keturunan. Mereka menjadi teringat terus
akan peristiwa masa lalu itu karena di Indonesia, anak sangat penting. Ada
beberapa suami yang menceraikannya, ataupun para ibu itu yang mencerai suami
mereka. Tapi bisa dilihat, mereka diceraikan karena tidak memiliki anak. Pada
umumnya orang yang tidak memiliki anak, mereka miskin. Ada yang dibantu oleh
anak angkat. Pada umumnya tidak punya anak, dan juga tidak selalu dibantu oleh
keluarga.[20]
Hingga berpuluh-puluh tahun
setelah Indonesia merdeka, nasib para Jugun Ianfu tidak pernah berubah. Justru
pemerintah Indonesia sendiri menganggap Jugun Ianfu sebagai sebuah aib yang
tidak perlu diceritakan. Khususnya sejak dimulainya kerja sama di bidang
politik dan ekonomi yang dimulai pada rezim Soeharto. Menurut Hilde, pemerintah
terlalu takut dan sangat bergantung kepada Jepang dalam hal perekonomian.[21] Pemerintah
Indonesia menganggap masalah Jugun Ianfu sudah selesai, bahkan mempererat hubungan
bilateral dengan Jepang paska perang Asia Pasifik. Namun hingga kini banyak
organisasi non pemerintah terus memperjuangkan nasib Jugun Ianfu
dan terus melakukan melobi ke tingkat internasional untuk menekan pemerintah
Jepang agar menyelesaikan kasus perbudakan seksual ini. Kemudian upaya penelitian
masih terus dilakukan untuk memperjelas sejarah buram Jugun Ianfu Indonesia,berpacu
dengan waktu karena para korban yang sudah lanjut usia. Sehingga, pemerintah
tidak pernah memperhatikan permasalahan Jugun Ianfu.[22]
Padahal, mereka ini juga termasuk
korban perang. Justru secara psikis, merekalah yang paling merasa menderita. Banyak
masyarakat yang merendahkan, serta menyisihkan para korban dari pergaulan
sosial. Kasus Jugun Ianfu dianggap sekedar “kecelakaan” perang dengan memakai
istilah “ransum Jepang”. Mencap para korban sebagai pelacur komersial. Banyak
juga pihak-pihak oportunis yang berkedok membela kepentingan Jugun Ianfu dan
mengatasnamakan proyek kemanusiaan, namum mereka adalah calo yang mengkorupsi dana santunan yang
seharusnya diterima langsung para korban.[23]
Berikut adalah beberapa tuntutan dari para korban Jugun Ianfu:
1.
Pemerintah Jepang masa kini harus mengakui
secara resmi dan meminta maaf bahwa perbudakan seksual dilakukan secara sengaja
oleh negara Jepang selama perang Asia Pasifik 1931-1945.
2.
Para korban diberi santunan sebagai korban
perang untuk kehidupan yang sudah dihancurkan oleh militer Jepang.
3.
Menuntut dimasukkannya sejarah gelap Jugun
Ianfu ke dalam kurikulum sekolah di Jepang agar generasi muda Jepang
mengetahui kebenaran sejarah Jepang.
Hingga saat ini, belum ada pengakuan
secara resmi dari pemerintah Jepang terhadap kejahatan perang yang dialami para
korban Jugun Ianfu. Pemerintah Jepang menganggap bahwa Jugun Ianfu adalah para
pelacur yang bersedia dengan suka rela untuk menjadi Jugun Ianfu.
Kesimpulan
Jugun Ianfu adalah istilah yang
digunakan untuk merujuk kepada wanita penghibur yang terlibat dalam perbudakan
seks selama Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah perang. Jugun ianfu
merupakan wanita yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara
Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya
pada kurun waktu tahun 1942-1945. Keberadaan Jugun Ianfu di Indonesia tidak
lepas dari keberadaan tentara Jepang di Indonesia. Saat ini saja ada sekitar
1500 korban eks Jugun Ianfu yang diperkirakan masih hidup. Sedangkan lainnya
kemungkinan telah meninggal dunia.
Perekrutan para Jugun Ianfu
dilakukan dengan cara penipuan maupun dengan jalan kekerasan. Mereka kemudian
diseleksi kesehatannya dan dimasukan ke dalam Ianjo-Ianjo sebagai rumah
bordil militer Jepang. Bagi para tentara Jepang yang berada di pedalaman yang
jauh dari rumah-rumah bordil, mereka melakukan pemaksaan kepada rakyat untuk
segera menyerahkan perempuan-perempuan yang ada. Atau ada yang melakukan
pemerkosaan secara masal terhadap perempuan-perempuan yang bisa mereka temukan
di wilayah-wilayah yang di duduki oleh tentara Jepang.
Hingga saat ini, kehidupan korban
Jugun Ianfu tetap menderita. Selain karena tekanan psikis dan stigma negatif
yang diberikan masyarakat sebagai “bekas Jepang”, mereka juga tidak mendapat
perhatian dari pemerintah Indonesia sendiri. Hanya yayasan-yayasan yang
memberikan perhatian khusus saja yang mencoba untuk memperuangkan nasib para
korban Jugun Ianfu dan permohonan maaf secara resmi dari pemerintah Jepang yang
sampa saat ini tidak mau mengakui keberadaan Jugun Ianfu.
Daftar Pustaka
Kurosawa,
Aiko. 1993. Mobilisasi dan Kontrol: Studi
tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Grasindo.
Ojong.
2001. Perang Pasifik. Jakarta: Kompas.
Ricklefs.
2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
Jakarta: Serambi.
Internet
http://www.vhrmedia.com/
http://ianfuindonesia.webs.com/
http://ilhamfadli.blogspot.com/2011/04/kebisuan-jugun-ianfu-indonesia.html
http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/category/tags-bahasa-indonesia/kisah-momoye
http://www.metrotvnews.com/
http://etnohistori.org/
http://maulanusantara.wordpress.com/
http://fajarriadi.com/
http://aalmarusy.blogspot.com/2011/04/jugun-ianfu-dan-pelecehan-wanita-dalam.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Jugun_Ianfu
[1] Ojong, Perang
Pasifik (Jakarta: Kompas), hlm. 1-17.
[2] Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 2008 (Jakarta: Serambi), hlm.
421-422.
[3] Ibid.,
hlm 424.
[4] Ibid.,
hlm. 425.
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Jugun_Ianfu
[6] http://ianfuindonesia.webs.com/
[7] http://maulanusantara.wordpress.com/
[8] http://aalmarusy.blogspot.com/2011/04/jugun-ianfu-dan-pelecehan-wanita-dalam.html
[9] http://maulanusantara.wordpress.com/
[10] http://id.wikipedia.org/wiki/Jugun_Ianfu
[11] http://maulanusantara.wordpress.com/
[12] Ibid.
[13] http://id.wikipedia.org/wiki/Jugun_Ianfu
[14] http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/category/tags-bahasa-indonesia/kisah-momoye
[15] http://maulanusantara.wordpress.com/
[16] http://etnohistori.org/
[17] Ibid.
[18] http://maulanusantara.wordpress.com/ pada 31
Januari 2011
[19] http://etnohistori.org/
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] http://maulanusantara.wordpress.com/
[23] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar