TIRTO
ADHI SOERJO DAN KESADARAN AWAL KEBANGSAAN INDONESIA
Apabila anda mempelajari sejarah pergerakan nasional, pastilah anda akan
teringat dengan Boedi Oetomo atau SI, atau tokoh-tokoh pergerakan seperti Tiga Serangkai
yang terdiri dari Douwes Dekker, Suwardi Suyaningrat, dan Tjipto
Mangoenkoesoemo, dan tokoh-tokoh lain seperti Sukarno dan Hatta. Tetapi,
kenalkah anda dengan sosok seorang Tirto Adhi Soerjo? Tokoh ini memang tidak
banyak dikenal oleh masyarakat umum, karena perannya dalam pembentukan kesadaran
awal kebangsaan selama ini tidak banyak dibahas dalam pelajaran-pelajaran
sekolah dan hanya terbatas pada sejarah awal pendirian SDI saja. Padahal,
banyak pemikiran-pemikirannya yang telah ia curahkan dalam tulisan yang telah
banyak memberikan pencerahan terhadap tokoh-tokoh pergerakan lainnya.
Tirto Adhi Soerjo atau biasa disingkat T.A.S merupakan salah satu tokoh
pergerakan yang sangat penting perannya dalam kesadaran awal kebangsaan
Indonesia. Melalui tulisan-tulisannya, ia dengan berani menyatakan
kritik-kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang
dinilai merugikan rakyat. Ia merupakan seorang tokoh Bumiputra terdidik yang mempelopori
pergerakan dengan menggunakan surat kabar. Ia juga merupakan sosok Bumiputra
yang menjadikan surat kabar sebagai sarana perjuangan melawan ketidakadilan
pemerintah kolonial Belanda. Ia
juga sering menekankan pentingnya organisasi sebagai wadah untuk memperjuangkan
kepentingan bangsanya. Karena kritik pedasnya terhadap pemerintah Hindia Belanda
dan beberapa kasus ketidakadilan yang ia ungkapkan dalam surat kabar, ia sempat
beberapa kali ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun, seluruh kerja
kerasnya ternyata telah dilupakan oleh bangsanya sendiri. Oleh sebab itu,
penulis akan mencoba untuk memperkenalkan sosok ini sekaligus membahas mengenai
peran T.A.S dalam pergerakan kebangsaan Indonesia.
Riwayat Singkat Tirto Adhi Soerjo
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo dilahirkan di Blora sekitar tahun 1880. Nama
kecilnya adalah Djokomono. Ia merupakan anak kesembilan dari 11 bersaudara dari
seorang bupati yang bernama R.M Tirtodipuro. Kakeknya sendiri juga merupakan
Bupati Bojonegoro. Hal ini membuktikan bahwa seluruh keluarga Tirto memiliki
darah kepriyayian yang kuat. Oleh karena ia merupakan putra seorang priyayi
Jawa, maka ia boleh bersekolah dan mendapat pendidikan Eropa di sekolah yang
didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda seperti HBS dan STOVIA. Sejak kecil,
ia tidak terlalu mengenal orang tuanya dengan baik, karena ia sering dititipkan
(ngenger) dengan keluarga-keluarga
priyayi lainnya yang memiliki jabatan yang penting. Di Jawa, budaya menitipkan
anak kepada priyayi lain yang memiliki jabatan yang sama tinggi atau lebih
tinggi adalah sesuatu yang wajar. Diharapkan, dengan menitipkan anak ini kepada
keluarga lain dapat membentuk karakter kepriyayiannya dengan lebih baik sambil
berharap bahwa anak tersebut dapat menjadi priyayi dengan kedudukan yang lebih
tinggi daripada ayahnya sendiri.
Tirto Adhi Soerjo Bergerak
Tirto adalah seseorang yang memiliki karakter penggelisah, terutama setelah
melihat kesengsaraan dan ketidakadilan yang dialami oleh lapisan bawah bangsa Bumiputra
di tanah kelahiran mereka sendiri. Sebagai seseorang berpendidikan Eropa dan
sangat dipengaruhi oleh pemikiran Eropa, ia kurang menyukai budaya feodalisme
priyayi Jawa yang cenderung memperbudak golongan dibawahnya baik mereka sadari
maupun tidak. Oleh sebab itu, ia lebih memilih menjadi orang bebas daripada
harus menjadi priyayi seperti ayah dan seluruh keluarganya.
Setelah ia lulus dari HBS, ia menolak untuk melanjutkan sekolah ke sekolah
Pangreh Praja, tetapi kemudian ia pergi ke Batavia untuk meneruskan sekolahnya
di STOVIA antara tahun 1893 atau 1894. Namun, sekolahnya di STOVIA tidak
dilanjutkan dan ia memutuskan untuk keluar pada tahun 1900. Nampaknya, ia lebih
memilih menjadi jurnalis serta menekuni bidang itu secara serius. Oleh karena
kepandaiannya dalam dunia tulis-menulis, maka pada 2 April 1902, Tirto diangkat
sebagai redaktur Pembrita Betawi yang dipimpin oleh F. Wiggers dan
pada 13 Mei 1902, ia berhail naik pangkat menjadi pemimpin redaksi. Namun,
jabatan tersebut hanya dipegangnya selama satu tahun karena berselisih paham
dengan F. Wiggers. Kemudian, ia memutuskan untuk pindah ke Bandung pada tahun 1903.
Hingga tahun-tahun tersebut, hampir semua jurnalis Bumiputra bekerja kepada
surat kabar Indo atau Tionghoa. Umumnya, tidak ada di antara mereka yang berani
mendirikan surat kabarnya sendiri. Namun, kemunculan Tirto Adhi Soerjo telah
menjadi angin segar bagi perkembangan jurnalistik Bumiputra. Di Bandung, dengan
bantuan dana dari R.A.A. Prawiradiredja, Bupati Cianjur, ia berhasil mendirikan
surat kabar yang diberi nama Soenda
Berita, yang merupakan surat kabar pertama yang, didirikan, dibiayai, dikelola,
disunting dan diterbitkan oleh orang Bumiputra. Hampir sebagian besar pekerjaan
dalam surat kabar tersebut dikerjakannya sendiri, mulai dari tulisan yang akan
diterbitkan, penyuntingan, penyusunan tampilan surat kabar, dan administrasinya.
Namun, surat kabar itu hanya bisa bertahan hingga tahun 1905.
Dari tahun 1905-1906 Tirto mengembara ke Maluku. Di sanalah ia kemudian
bertemu dengan putri Raja Bacan, Prinses Fatimah atau lebih dikenal dengan
Prinses van Bacan dan menikah dengannya. Princess Fatimah merupakan seorang
perempuan yang cerdas. Ia adalah lulusan MULO sehingga mahir berbahasa Belanda.
Di kemudian hari, Prinses Fatimah banyak membantu Tirto dalam bidang
jurnalistik dan menjadi bagian penting dalam Medan Prijaji.
Sekembalinya dari Maluku, yakni
pada tahun 1906, Tirto masih memiliki keinginan untuk mendirikan suatu
organisasi yang akan menjadi wadah bagi bangsanya untuk ikut menolong bangsanya
sendiri dari ketidakadilan. Kemudian, Tirto segera mengunjungi beberapa
pembesar Bumiputra di Batavia untuk mencari dukungan dan mengetahui pendapat
mereka mengenai rencananya untuk mendirikan suatu organsiasi. Kemudian, Tirto mendatangi
R.M. Prawirodiningrat, seorang jaksa kepala di Batavia. R.M. Prawirodiningrat
ternyata mendukung rencana Tirto, tetapi ia menyarankan agar Tirto mendatangi Wedana
Mangga Besar, Thamrin Mohammad Thabri. Menurut R. M.
Prawirodiningrat, Thamrin merupakan pejabat Bumiputra yang cukup disegani dan punya pengaruh
luas di dalam masyarakat. Tirto kemudian segera
mendatangi Thamrin di kediamannya. Di sana, Thamrin juga memberi dukungan kepada Tirto. Dengan adanya dukungan
dari para pembesar ini, diharapkan akan mempengaruhi bawahan maupun pembesar
lainnya untuk ikut masuk dan turut berpartisipasi dalam organisasi.
Setelah mendapat dukungan dari para pembesar Bumiputra, Tirto segera
mengumpulkan para priyayi ini. Setelah semua orang yang hadir tersebut menyetujui
akan adanya pendirian suatu organisasi, maka ia segera meresmikan berdirinya Syarikat
Prijaji
pada tahun 1906. Tirto sendiri yang membuat anggaran dasar dan
rumah tangga Syarikat Prijaji dan membacakannya dalam peresmian tersebut. Pada intinya, Syarikat
Prijaji
merupakan organisasi yang bertujuan untuk memajukan pendidikan anak-anak
priyayi dan bangsawan Bumiputra lainnya melalui pemberian beasiswa. Baru dua
tahun kemudian setelah berdirinya Syarikat Priyayi, yakni pada tanggal 20
Mei 1908 berdirilah Boedi Oetomo oleh para lulusan STOVIA yang memiliki tujuan yang
hampir sama dengan Syarikat Prijaji.
Namun, Syarikat Prijaji yang didirikan oleh Tirto ini ternyata
tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkannya. Kegagalan ini disebabkan
karena para anggotanya yang terdiri dari para priyayi ini cenderung menikmati
kepriyayiannya yang telah mapan dengan gaji yang telah mencukupi yang telah
diberikan oleh pemerintah. Mereka juga cenderung statis dalam melihat
lingkungan di sekitar mereka karena memang masih sangat dipengaruhi oleh
pemikiran feodalisme tradisional. Oleh sebab itu, Syarikat Prijaji cenderung mati suri dan
tidak melakukan suatu kegiatan apapun. Di samping itu, Tirto sendiri juga
sangat sibuk dalam mempersiapkan pendirian surat kabarnya sendiri, yakni Medan
Prijaji
pada tahun 1907.
Di awal pendiriannya, Medan Prijaji
masih merupakan surat kabar mingguan dan bertahan hingga tahun 1909. Namun,
kemudia surat kabar mingguan ini mengalami kemajuan dan menjadi surat kabar
harian pada tahun 1909 sampai dengan 1912. Dalam surat kabar ini, pengaruh
tulisan Tirto
Adhi Soerjo sangat kuat. Ia juga menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantarnya. Dalam Medan Prijaji, Tirto banyak menggunakan bahasa-bahasa sindiran dalam
tulisan-tulisan yang dibuatnya. Melalui Medan Prijaji, banyak rakyat yang
berkeluh kesah tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan ketidakadilan yang
diungkapkan melalui surat kabar ini. Melalui Medan Prijaji pula Tirto menjawab
keluhan-keluhan mereka sekaligus melakukan kritikan tajam kepada pemerintah dan
para pembesar Bumiputra yang melakukan ketidakadilan terhadap rakyatnya.
Dengan cepat, Medan Prijaji
telah menjadi surat kabar paling terkemuka dengan jumlah pelanggan mencapai
2000 orang pada awal 1911. Gaya bahasanya yang tajam tetapi mudah dimengerti
oleh para pembaca telah membuat surat kabar tersebut sangat laris. Sejak itu,
nama Tirto
Adhi Soerjo menjadi semakin terkenal dan semakin disegani baik oleh rakyat yang
berasal dari berbagai kalangan maupun oleh musuh-musuhnya. Dalam
perkembangannya, Tirto menggunakan Medan Prijaji untuk menumbuhkan
kesadaran kebangsaan kepada rakyat Hindia dan menjadi Bumiputra pertama yang membangkitkan
bangsanya melalui tulisan.
Keberhasilannya tersebut
ternyata tidak membuat hubungannya dengan Gubernur Jendral saat itu menjadi
memburuk. Justru, ia dapat membina hubungan yang cukup baik dengan Gubernur
Jendral Van Heutsz, yang memberi banyak perhatian dan perlindungan terhadapnya
dari berbagai macam gangguan yang mungkin akan didapat Tirto karena kritikan
tajamnya terhadap beberapa pihak yang merasa terganggu. Agaknya, Van Heutsz
cenderung berusaha bersikap lunak terhadap Tirto sebagai Pribumi terdidik yang
berpikiran Eropa sebagai bahan pengamatan, karena ia merupakan fenomena baru di
antara kaum Bumiputra di tengah alam kolonial sebagai akibat dari kebijakan
Etis. Namun, Gubernur Jendral A.W.F Idenburg yang menggantikan Van Heutsz pada tahun 1909 ternyata memiliki
kebijakan lain terhadap Tirto. Gubernur Jendral Idenburg lebih bersikap keras
dan tegas terhadap Tirto, sehingga Tirto tidak lagi mendapat perlindungan yang
selama ini didapatkannya dari Gubernur Jendral sebelumnya. Baru beberapa bulan
setelah datangnya Gubernur Jendral Idenburg, Tirto sudah dibuang ke Lampung
selama dua bulan atas tuntutan persdelict, meskipun ia memiliki forum
privilegiatum (Forum untuk bangsawan Pribumi dari tingkat paling atas sampai
Raden Mas atau anak sampai cucu bupati untuk dapat sederajat dengan orang Eropa
di depan pengadilan).
Menjelang akhir dekade abad ke-19, Medan
Prijaji
mengalami kesulitan finansial, karena perusahaan-perusahaan Eropa enggan
memasang iklannya di Medan Prijaji. Oleh sebab itu, para pelanggannya
dianjurkan untuk membeli saham perusahaan dan uang langganan diperkecil. Selain
itu, Tirto juga menawarkan bantuan hukum dan potongan harga untuk menginap di
Hotel Medan Prijaji Batavia kepada para pemegang saham. Hal-hal tersebut
merupakan usahanya untuk dapat menjaga kestabilan keuangan Medan Prijaji yang sedang mengalami
masalah finansial.
Meskipun mengalami kesulitan
finansial karena tantangan kolonial, boleh dikatakan bahwa Medan Prijaji merupakan
surat kabar Pribumi yang paling berhasil pada saat itu. Tetapi, keberhasilan tersebut
ternyata tidak membuat Tirto berpuas diri. Ia kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islamiah pada tanggal 27 Maret 1909, di rumah R. M. Soerjo
di Bogor sebagai perkumpulan Kaoem Mardika (Vrije Burgers). Kemudian, ia juga
menggunakan Medan Prijaji untuk
mendukung propaganda organisasi tersebut. Sejak itu, demam organsasi pun mulai
tumbuh di kalangan Bumiputra, meskipun setahun sebelumnya telah muncul
organsasi Boedi Oetomo yang bersifat kedaerahan.
Untuk memperluas gerakannya, SDI terus menjalankan gerakannya dengan mengirimkan propagandis-propagandisnya ke daerah-daerah. SDI juga
mendirikan cabang-cabangnya di beberapa daerah tersebut. Dengan cepat, anggota
SDI terus mengalami peningkatan secara signifikan dan pekerjaan Tirto untuk
membantu anggotanya pun terus meningkat. Tirto sendiri juga sering mengadakan
kunjungan ke beberapa daerah untuk melihat perkembangan masyarakat di sana
sambil melakukan propagandanya sebagai seorang agitator. Pada akhir bulan
Januari atau awal Februari 1911, Tirto tiba di Surakarta atas permintaan dari
Martodharsono untuk menyusun anggaran dasar SDI afdeeling Sala.
Dari perjalanan ini beliau berkenalan dengan seorang pedagang batik asal Sala
bernama Haji Samanhoedi. Haji Samanhoedi kemudian memimpin SDI afdeeling Sala
sebagai cabang SDI
Bogor. Sebenarnya, SDI Sala atau Sarekat Islam merupakan organisasi
yang didirikan oleh Haji Samanhoedi, tetapi karena adanya peraturan hukum dari Pemerintah
Hindia Belanda yang dapat membubarkan suatu organisasi tanpa status hukum yang
jelas, maka SI mengaku sebagai bagian dari SDI Bogor. Oleh sebab itu, Tirto diminta
untuk menyusun anggaran dasar Sarekat Islam. Anggaran dasar tersebut
ditandatangani Tirto tertanggal 9 November 1911 yang dalam pengantarnya menyatakan
pembentukan SI (Sarekat Islam). Sejak itu, keanggotaan SI terus mengalami
peningkatan yang sangat pesat.
Pada saat itu, Tirto juga membantu SI untuk mendirikan surat kabarnya
sendiri. Maka, tidak lama setelah SI berdiri dibentuklah surat kabar berbahasa
Jawa Sarotomo. Dalam Sarotomo, Tirto bertindak sebagai
redaktur utama, tetapi karena jarak kediaman Tirto sangat jauh, maka
pengelolaan Sarotomo diserahkan
kepada Martodharsono yang bertindak sebagai redaktur pembantu. Namun, karena
kondisi keuangan Medan Prijaji
semakin memburuk, maka penerbitan Sarotomo untuk sementara juga dihentikan.
Namun demikian, tantangan yang harus dihadapi Tirto dengan Medan Prijajinya
semakin berat, terutama tantangan dari pemerintah kolonial dan orang-orang yang
merasa dirugikannya. Oleh sebab itu, kondisi keuangan Medan Prijaji semakin
memburuk. Akibatnya, Tirto meninggalkan hutang yang sangat besar dan tidak
mampu melunasi biaya percetakan. Akhirnya, pada 22 Agustus 1912 penerbitan Medan
Prijaji dihentikan dan Tirto harus menjalani kasus perdata yang
mengakibatkan dirinya harus dibuang ke Ambon selama enam bulan sampai awal
tahun 1913. Namun, ia baru kembali ke Jawa pada awal 1915. Sejak itu, SI
diambil alih secara penuh oleh Haji Samanhoedi.
Sejak SI dipimpin oleh Haji Samanhoedi, jumlah keanggotaan SI terus
meningkat. SI pun segera mendirikan berbagai cabangnya di beberapa daerah di
Hindia Belanda. Bisa dikatakan bahwa SI merupakan organisasi terbesar yang
pernah ada di Hindia Belanda. Di tengah terjadinya peningkatan jumlah anggota, Haji
Samahoedi pun lebih memilih mundur dari SI agar perusahaan batiknya tidak
gulung tikar karena kesibukannya di dalam organisasi. Tetapi, dengan jumlah
anggota yang terus membesar, SI tetap kehilangan sosok Tirto sebagai
organisator ulung, sehingga SI tidak memiliki arah kebijakan yang jelas di
tingkat elit pimpinannya.
Sekembalinya dari Ambon pada tahun 1915, Tirto sudah tidak memiliki apa-apa
dan jatuh miskin. Sejak pengasingannya tersebut, kehidupan Tirto baik secara
materiil maupun secara psikologis telah hancur. Kesehatannya juga sering
terganggu dan terus sakit-sakitan. Orang-orang yang dulu pernah ada di
sekitarnya dan pernah dibantunya pun telah melupakannya. Bahkan SI dan Haji
Samanhoedi sekalipun cenderung menjauhinya. Akibatnya, kondisi Tirto semakin
memburuk dan pada akhirnya meninggal pada 7 Desember 1918 di Hotel Samirana
(dulu Hotel Medan Prijaji) dengan keadaan yang memprihatinkan dan kesepian dalam
penjagaan R. Goenawan, salah seorang anak didiknya. Ia kemudian dimakamkan di Mangga
Dua Jakarta dan pada tahun 1973 makamnya dipindahkan ke Bogor. Demikianlah
akhir hayat seseorang yang telah menyadarkan bangsanya, berjuang dengan sepenuh
hati demi bangsanya melalui pena dan tulisan, bahkan rela mengorbankan seluruh
hidupnya demi bangsanya, tetapi dengan cepat dilupakan oleh bangsanya sendiri.
Daftar Pustaka
Kartodirjo,
Sartono. 1993. Pengantar Sejarah
Indonesia baru: Pergerakan Nasional dari Kolonial sampai Nasionalis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pringgodigdo. 1994. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia.
Jakarta: Dian Rakyat.
Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGM Press.
Shiraishi, Takashi.
1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
Sitorus. 1951. Sedjarah Pergerakan Kebangsaan
Indonesia. Jakarta : Pustaka Rakjat.