Rabu, 12 Desember 2012

Mengenal Museum Keris dan Fosil Padepokan Keris BRojobuwono

MUSEUM KERIS DAN FOSIL
PADEPOKAN KERIS BROJOBUWONO

Museum Keris dan Fosil Padepokan Keris Brojobuwono merupakan sebuah museum yang menyimpan ratusan koleksi keris dan ratusan koleksi fosil. Lokasi museum ini terletak tidak jauh dari pusat kota Solo, yakni sekitar 30 menit perjalanan ke arah utara kota Solo atau tepatnya di desa Wonosari kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Museum ini resmi di perkenalkan kepada masyarakat pada tanggal 26 April 2012.
Ide pendirian museum ini sebenarnya sudah ada sejak Basuki Teguh Yuwono, seorang pemerhati keris dan dosen ISI Surakarta ini tertarik dengan dunia perkerisan. Melalui riset-riset yang dilakukannya, beliau telah berhasil mengumpulkan banyak keris dari berbagai wilayah di nusantara. Oleh sebab itu, beliau juga ingin menumbuhkan kepedulian dan rasa kecintaan masyarakat terhadap keris. Terutama setelah keris telah diakui oleh UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia. Itulah sebabnya, beliau berkeinginan untuk membuat museum yang memamerkan koleksi keris sebagai koleksi utamanya. Namun, pendirian museum itu akhirnya baru bisa terealisasi setelah bertemu dengan dr. Bambang Gunawan, Sp. og, yang merupakan seorang pecinta keris.
Setelah melewati beberapa kendala dalam mencari perizinan pendirian museum, keinginan ini akhirnya terwujud dan akhirnya museum dibuka untuk umum pada tanggal 26 April 2012. Pengunjung yang merasa tertarik dengan keunikan keris sekaligus ingin mempelajari sejarah, seni, dan falsafah yang terkandung di dalam keris bisa belajar banyak di museum ini. Tidak hanya itu, museum juga memberikan pendampingan dan pelatihan bagi pengunjung yang tertarik untuk mempelajari tekhnologi pembuatan keris secara gratis. Perlu diketahui bahwa museum ini sudah memiliki izin dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan memenuhi semua persyaratan yang diperlukan untuk mendirikan sebuah museum. Untuk itulah, museum ini bekerja sama dengan museum Sangiran, karena museum Sangiran diharapkan dapat memberikan pendampingan terhadap museum ini agar koleksi-koleksinya bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat luas dan mendapat penanganan sesuai persyaratan penanganan dan perlindungan benda cagar budaya.
Tampak depan Hall Museum Padepokan Keris Brojobuwono

Koleksi keris dan fosil yang tersimpan di museum ini adalah merupakan koleksi pribadi dari dr. Bambang dan Pak Basuki serta ada juga yang merupakan sumbangan dari masyarakat. Ada beberapa keris yang ditemukan di daerah sekitar pantai karena umumnya keris-keris ini dahulu merupakan salah satu sesaji yang dilarung di laut. Beberapa fosil yang tersimpan di museum ini ada yang didapatkan dengan cara membeli dari penemunya sebagai penghargaan terhadap penemu. Fosil-fosil yang tersimpan di museum ini pun sudah didata dan terintegrasi dengan museum di Sangiran.
Fosil kepala banteng koleksi fosil Padepokan Keris Brojobuwono
Sumber: Dokumen Pribadi

Koleksi keris dan fosil ini pun ditata dan diklasifikasikan berdasarkan usia, keunikan dan jenis keris tersebut. Sedangkan penyimpanan fosil dilakukan di ruang tersendiri yang mengesankan seperti berada di dalam gua zaman prasejarah. Keadaan koleksi-koleksi di museum ini relatif baik, meskipun ada beberapa koleksi yang dibiarkan sebagaimana adanya atau dibiarkan alami sesuai dengan keadaan awal ditemukan. Hal inilah yang juga menjadi salah satu keunikan dari museum ini. Di masing-masing koleksinya pun sudah terdapat keterangan-keterangan yang dapat memberikan informasi kepada pengunjung. Selain itu, pengunjung yang datang pun akan selalu didampingi oleh seorang karyawan di sana, sehingga jika pengunjung ingin menanyakan sesuatu hal yang lebih spesifik tentang keris bisa ditanyakan kepada karyawan di sana. Pengunjung yang masuk dan melihat-lihat di dalam museum ini tidak akan ditarik biaya masuk alias gratis.
Nampak koleksi keris yang ditata di ruang koleksi keris Padepokan Keris Brojobuwono
Sumber: Dokumen Pribadi

Di bagian belakang ruang museum, pengunjung dapat melihat cara pembuatan keris dan kerajinan seni tempa lainnya seperti golok, pedang, kujang, mata tombak, dll. Museum ini juga sudah melakukan upaya konservasi dan preservasi terhadap koleksi-koleksinya. Selain itu, museum ini juga berusaha melestarikan keberadaan keris dengan terus menciptakan keris-keris baru. Jika ada pengunjung yang tertarik dan ingin belajar membuat keris, pengunjung bisa belajar di sana. Di sisi lain museum ini, juga terdapat ruang khusus yang menyimpan souvernir berupa hasil kerajinan yang berasal dari batu-batuan yang indah bentuk dan warnanya. Kesan yang ditawarkan dari bangunan museum ini juga cukup indah dan asri, sehingga pengunjung akan dimanjakan dengan hawa sejuk yang di taman museum ini.


Nampak aktivitas penempaan keris di Pedepokan Keris Brojobuwono
Sumber: Dokumen Pribadi

            Aktifitas museum ini bisa dikatakan cukup padat. Selain melakukan riset-riset mengenai perkerisan, museum juga melakukan pendampingan kepada masyarakat dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya keris sebagai salah satu benda cagar budaya yang sudah diakui dunia. Semua aktifitas yang menunjukkan budaya pembuatan keris juga masih dipertahankan. Museum juga melakukan pendampingan kepada orang-orang yang tertarik dengan dunia perkerisan tanpa menarik imbalan apapun. Sebab, museum ini bisa terwujud karena adanya komitmen untuk melestarikan budaya perkerisan di Indonesia dan sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk terus melestarikan berbagai peninggalan kebudayaan warisan nenek moyang kita sendiri. Bangunannya yang indah dan asri membuat tempat ini cukup nyaman dikunjungi sebagai salah satu lokasi wisata alternatif bagi anda yang ingin belajar sekaligus bersantai.
Souvernir yang ditawarkan di ruang souvernir Padepokan Keris Brojobuwono
Sumber: Dokumen Pribadi

            Nah, bagi anda yang mungkin tertarik dengan dunia perkerisan adalah suatu kewajiban untuk mengunjungi museum ini, sebab museum ini dapat memberikan pengetahuan lebih bagi anda yang tertarik dengan dunia perkerisan yang tidak akan didapat di tempat lain. Sedangkan bagi anda yang masih awam mengenai dunia keris, tidak ada salahnya untuk berkunjung ke museum ini, karena selain untuk belajar sudah menjadi kewajiban kita sebagai generasi penerus untuk mengenal dan melestarikan warisan budaya leluhur kita sendiri, apalagi UNESCO pun sudah mengakuinya.

Kamis, 29 November 2012

SEJARAH PERJUANGAN GERAKAN SAMIN

SEJARAH PERJUANGAN GERAKAN SAMIN


            Pada periode akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, di Jawa terjadi banyak pergerakan dan pemberontakan yang bersifat mesianistis, baik dalam Islam maupun dalam ajaran asli Jawa.[1] Terlebih karena adanya pengaruh kuat dari ramalan-ramalan yang menyatakan akan datangnya sang Ratu Adil yang akan menyelamatkan orang-orang tertindas dan menjadi pertanda dari suatu perubahan ke arah yang lebih baik yang akan membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Periode tahun tersebut memang merupakan periode tahun yang penuh penderitaan bagi rakyat di Jawa. Eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki pulau ini diperas habis-habisan demi mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya bagi pemerintah kolonial. Kekuasaan pemerintah kolonial yang besar itulah yang membuat rakyat kecil tidak dapat menggunakan tanah-tanah miliknya sendiri untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka, sebab seluruh tanah yang ada di dalam kekuasaan pemerintah merupakan tanah milik pemerintah, rakyat tidak memiliki hak atas apapun yang ada di wilayah kekuasaan pemerintah kolonial itu, seperti yang ada dalam konsep kekuasaan kerajaan-kerajaan Jawa. Sehingga, pemerintah kolonial berhak untuk mengeksploitasi seluruh yang ada di wilayah kekuasaannya baik tenaga maupun sumber daya alam lainnya yang ada di Jawa. Hal inilah yang telah menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat, terlebih juga karena mereka tidak mendapat upah yang tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh keluarganya.
Tekanan demi tekanan baik moral maupun fisik dari pemerintah kolonial ataupun oleh sang modal telah membuat kesabaran sebagian rakyat mencapai puncaknya. Karena itu, muncul sosok-sosok pemimpin yang prihatin dengan keadaan zaman dan ingin melepaskan seluruh penderitaan yang mereka derita selama ini, dengan melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang mereka anggap telah membuat kesengsaraan bagi mereka. Kepemimpinan yang mereka dapat seringkali berasal dari para pemimpin Islam atau pun dari orang yang cukup berpengaruh di pedesaan. Namun, kebanyakan dari gerakan tersebut dianggap hanya sebagai gangguan kecil bagi pemerintah kolonial. Dari berbagai gerakan-gerakan yang ada, gerakan Saminismelah yang dianggap paling menarik. Bahkan, gerakan tersebut masih bertahan hingga sekarang, meski tak segencar dulu.
            Karena menariknya gerakan Samin ini, maka penulis ingin mengangkat suatu tulisan yang bertemakan tentang gerakan Samin. Dalam pembahasannya, penulis akan membahas mengenai siapa pendiri gerakan itu? Apa yang membuatnya sebagai gerakan yang cukup menarik untuk dibahas? Gerakan itu bertujuan untuk apa? Bagaimana perkembangan gerakan tersebut?

Sejarah Gerakan Samin
            Gerakan Saminisme adalah suatu gerakan yang dipelopori oleh Surantiko (Surasantiko) Samin (± 1859-1914). Gerakan tersebut sendiri diambil dari namanya, yakni Samin. Gerakan ini terus berkembang selama tiga puluh tahun lebih di bagian barat Pegunungan Kendeng, diselatan Blora, yang tanahnya kering berkapur dan kurang subur, dimana pemerintah kolonial telah mencoba menggantikan pertanian dengan perkebunan jati. Menurut Denys Lombard, berbeda dengan gerakan lain yang umumnya dilakukan hingga berlumuran darah, gerakan Samin ini tidak meminta korban seorang pun, namun berbekas dalam laporan-laporan resmi yang tebal. Menurutnya, yang menarik adalah bahwa gerakan ini telah berhasil bertahan dan melampaui krisis besar tahun 30-an dan pendudukan Jepang, dan secara tak terduga mundul kembali pada awal Kemerdekaan.[2]
Gerakan ini secara umum bercirikan bahwa pelakunya adalah para petani, daerah geraknya tidak luas dalam arti hanya meliputi beberapa desa saja dan sering terpisah-pisah; artinya tidak ada dukungan atau konsolidasi di antara gerakan-gerakan itu.[3] Salah satu alasan bahwa pada umumnya gerakan dilakukan oleh para petani karena petani merupakan pihak yang paling merasakan penindasan dari suatu kekuasaan, terutama para petani yang tidak memiliki tanah garapan sendiri dan terpaksa harus menjadi buruh tani, yang upah yang mereka terima sulit untuk mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Walaupun ada diantara mereka yang memiliki tanah garapan milik mereka sendiri, tetapi karena adanya modal yang lebih berkuasa maka tanah-tanah yang mereka miliki pada umumnya dirampas oleh pemerintah untuk dijadikan perkebunan atau lahan-lahan yang sekiranya dapat memberikan keuntungan bagi pemerintah. Banyak dari mereka yang menjadi buruh di perkebunan-perkebunan asing atau milik pemerintah  yang hasil pendapatannya sangat sedikit. Perlakuan kepada mereka pun kurang layak dan sering mendapat perlakuan kasar baik dari mandor maupun dari tuan tanah. Sehingga, tingkat kesejahteraan petani terus menurun dan hasil dari keringat mereka tidak bisa mencukupi seluruh kebutuhan hidup diri sendiri apalagi kebutuhan hidup keluarganya.     
Pemimpin gerakan ini adalah Surantiko (Surasantiko) Samin yang lahir di desa kecil Randublatung (sebelah barat Bojonegoro), dan  ia sama sekali bukan petani miskin. Ia memiliki 3 bau tanah atau kira-kira 2,4 ha, suatu jumlah yang tidak sedikit, meskipun terletak di daerah yang kurang subur. Ia tidak pernah ke mana-mana dan konon buta huruf, tetapi mempunyai pengetahuan yang baik tentang wayang. Sebagai putra kedua dari lima lelaki bersaudara, sejak dini ia menganggap dirinya sebagai wujud baru dari tokoh Bima, tokoh kedua dalam keluarga Pandhawa. Ia selalu menjaga jarak dengan Islam dan mulai tahun 1890, bagaikan seorang guru kebatinan, mulai menyiarkan suatu agama baru yang disebut “agama Nabi Adam” (elmu Nabi Adam). Kepada murid-muridnya yang datang dalam jumlah yang terus meningkat (3000 orang pada tahun 1907), ia mengumumkan tibanya suatu era baru yang akan jatuh pada bulan Suro, artinya tanggal 14 Februari 1907, dan akan mengakhiri rezim Belanda, yang digantikan oleh dia sendiri sebagai raja. Sambil menunggu waktunya, ia menganjurkan perlawanan pasif dan menolak membayar pajak. Kontrolir Belanda, yang tahu banyak tentang semua itu, mengamankannya sebelum jatuh tanggal itu dan akhirnya ia dibuang ke Padang, dan meninggal di sana tujuh tahun kemudian. [4]
Menurut Ricklefs, meski mereka menggunaan istilah-istilah Arab, namun mereka sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Islam[5] sama seperti yang sudah diterangkan oleh Lombard. Kepercayaan ini tampaknya juga diilhami oleh ajaran Hindhu-Budha. Kepercayaan ini lebih merupakan suatu kumpulan doktrin-doktrin etika dan agama yang menitikberatkan pada pentingnya kerja pertanian, kekuatan seksual, perlawanan pasif, dan keutamaan keluarga inti, sementara menolak membayar pajak, melaksanakan kerja paksa, atau memanfaatkan sekolah-sekolah pemerintah.[6] Kaum Saminis menegaskan bahwa mereka tidak percaya pada Allah maupun surga karena mereka belum pernah melihatnya, sebaliknya menekankan pentingnya persenggamaan yang diilhami oleh Siwaisme kuno, atau lebih-lebih merupakan kultus Bima yang sudah terbukti keberadaannya pada abad ke-15.[7] Ada beberapa hal yang patut dicatat dalam gerakan ini, yakni bahwa mereka anti kekerasan, rajin, jujur, dan berhasil sebagai petani, serta menghargai sesamanya sederajat, termasuk kaum wanita.[8]
Agama Adam ini sebetulnya mengandung aspek-aspek budaya tani Jawa yang dasarnya adalah pemujaan pada Dewi Kesuburan atau Dewi Ibu. Diyakini bahwa kesatuan antara bumi dan langit menghasilkan kehidupan di dunia ini. Demikian juga halnya kesatuan yang serasi antara suami dan istri dalam ikatan perkawinan akan menghasilkan kedamaian dan kesuburan. Oleh karena itu, orang Samin menghargai perkawinan dan menganggapnya suci serta sangat menjunjung tinggi wanita. Sebagai petani, mereka juga sangat menghargai tanahnya dan petani mendapat penghormatan yang tinggi.[9]
            Gerakan Samin ini sempat membuat khawatir pemerintah Kolonial Belanda. Snouck Hurgronje, penasehat Pemerintah Urusan Bumiputra dan Ahli Islam pada waktu itu yang berpendapat bahwa gerakan Samin adalah gerakan mesianistis yang non-Islam. Gerakan semacam ini tidaklah berbahaya menurut pendapatnya karena dapat dengan cepat ditumpas dengan jalan membuang pemimpin atau penganjurnya.[10] Inilah salah satu sebab kenapa Surantiko Samin diasingkan dan dibuang ke Sumatra.
Meski sang penggagas telah dibuang ke Padang, gerakan ini terus berlanjut, bahkan menjadi lebih besar, terutama di daerah Pati. Di sana seorang bernama Samat telah menggantikan Samin dan mengumumkan datangnya dua ratu adil sekaligus, yang satu dari timur dan yang lain dari barat. Kalau Ratu Adil itu datang, akan tiba suatu masa di mana semua orang akan sama rasa sama rata.[11] Gerakan ini mencapai puncaknya pada tahun 1914, ketika pihak Belanda memungut pajak kepala yang semakin besar.[12] Mereka pada umumnya tidak mau melunasi pajak maupun menjalankan kerja rodi yang dituntut oleh pemerintah kolonial. Mereka juga menolak setiap kebijaksanaan Dinas kehutanan untuk memperluas areal pohon jati (houtvesterijen atau hutan milik negara) atau yang melarang pengambilan kayu bakar seperti lazimnya. Mereka dilaporkan menganjurkan semacam komunisme elementer yang menyatakan bahwa “tanah, air, dan kayu adalah milik semua orang” (lemah pada duwe, banyu pada duwe, kayu pada duwe).[13]  Lebih lanjut, ajaran Samin ini juga diartikan  sebagai Sami-sami (sama-sama) yang bersumber pada dasar persamaan manusia. Mereka menganggap semuanya sebagai saudara (sadulur) dan harus saling tolong-menolong. Mereka juga berpendapat bahwa bumi milik bersama dan untuk dimanfaatkan bersama-sama demi kesejahteraan semuanya atau bisa dikatakan bahwa mereka menganut prinsip“sama rasa sama rata”.[14] Jadi, gerakan Samin secara umum bertujuan untuk mendirikan suatu negara yang tentram yang dijiwai oleh orang-orang asli pribumi dan mengusir para penjajah kulit putih dengan cara yang halus, serta terciptanya masyarakat yang sama rasa sama rata. Sehingga, terciptalah masyarakat yang saling tolong-menolong, bantu-membantu seperti saudara sendiri untuk mendapatkan kesejahteraan secara bersama-sama.
            Memasuki dekade kedua abad ke-20, gerakan Samin semakin meningkat. Tanda-tanda bahwa mereka akan bertindak dengan kekerasan pun mulai nampak. Di Grobogan, orang Samin dibawah pimpinan Surohidin dan Pak Engkrak tidak mau menaati peraturan-peraturan Pemerintah. Sedangkan Pak Karsiyah, salah satu menantu Samin, mengajak Kajen di Pati untuk menentang Pemerintah dan menamakan dirinya Pangeran Sendang Janur. Di desa Larangan, orang-orang Samin menolak membayar pajak, menyerang Kepala Desa dan menantang pasukan Polisi yang datang untuk menghadapi orang-orang itu. Beberapa orang mengalami luka-luka dan para penyerangnya ditangkap dan dipenjarakan di Pati. Dalam bentrokan itu, tidak satu orang pun tewas.[15] Selama periode tersebut, gerakan ini terus berkembang, yakni diantaranya di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan dan yang terbanyak di Tapelan.
            Pada dasarnya, ajaran Samin memiliki kemiripan dengan ajaran Komunis, yakni karena gagasan Saminis yang atheis dan egaliter itu hampir memiliki kesamaan dengan gagasan-gagasan marxis yang sudah mulai menyebar. Meski begitu, agaknya Saminisme tidak dipengaruhi olehnya, sekurang-kurangnya pada tahap pertama.[16]  Karena kemiripan pandangan inilah yang membuat pemerintahan Orde Baru pernah mengirimkan pasukan pada tahun 1967 yang akhirnya menewaskan Mbah Suro. Mbah Suro (1921-1967), merupakan seorang tokoh yang mampu membangkitkan kembali gerakan Samin, meski akhirnya tewas di tangan pasukan TNI pada zaman Orde Baru karena dianggap sebagai seorang komunis.[17]
Jika dilihat secara sepintas, tampaklah bahwa orang Samin menentang Pemerintah Hindia Belanda karena mereka tidak puas terhadap tekanan-tekanan ekonomi yang diakibatkan oleh dijalankannya kebijakan-kebijakan baru oleh pemerintah. Juga terhadap kebijakan terhadap peraturan kehutanan. Penduduk yang semula bebas memanfaatkan dan mengambil hasil hutan itu menjadi terhambat. Selain itu, terjadinya disintegrasi sosial sebagai akibat masuknya pengaruh ekonomi modern kepedesaan serta penetrasi kebudyaan barat ke dalam sistem orang-orang Jawa telah mengganggu ketentraman masyarakat Jawa.[18] Itulah beberapa faktor yang menyebabkan merebaknya gerakan Samin ini, bahkan hingga bisa bertahan sampai sekarang.

Kesimpulan
            Gerakan Samin diprakarsai oleh Surantiko Samin yang lahir di desa kecil Randublatung (sebelah barat Bojonegoro). Gerakan ini merupakan gerakan tanpa kekerasan. Tujuan gerakan Samin adalah mencoba untuk mengusir orang-orang kulit putih (dalam hal ini adalah pemerintah Hindia Belanda) dengan cara yang halus dan tanpa kekerasan, dan membangun negara asli pribumi untuk menciptakan masyarakat yang tentram, makmur, dan damai, dimana semua orang akan merasakan  “sama rasa sama rata”. Yang membuat menarik adalah gerakan ini dilakukan dengan jalan tanpa kekerasan dan bisa bertahan hingga sekarang. Penyebaran ajaran ini adalah di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan dan yang terbanyak di Tapelan.


Daftar Pustaka

Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya 3, Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.



[1]     Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: Serambi), hlm. 283.
[2]     Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hlm. 159.
[3]    Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV (Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 323.
[4]     Lombard, Denys, op. cit., hlm. 159-160; Menurut Ricklefs, Samin diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Palembang  (Ricklefs, 2010: 361).
[5]     Ricklefs, op. cit., hlm 361.
[6]     Ibid.; Lombard, Denys, op. cit., hlm. 160.
[7]     Lombard, Denys, loc. cit.
[8]     Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto, loc. cit.
[9]     Ibid., hlm. 328.
[10]    Ibid., hlm. 324.
[11]    Lombard, Denys, loc. cit.
[12]    Ricklefs, loc. cit.
[13]    Lombard, Denys, loc. cit.
[14]    Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto, op. cit., hlm. 328.
[15]    Ibid., hlm. 327.
[16]    Lombard, Denys, loc. cit.
[17]    Ricklefs, op. cit., hlm. 610-611.
[18]    Ibid., hlm 329-332.

Minggu, 18 November 2012

MENGENAL SEJARAH SINGKAT REKSO PUSTOKO PURA MANGKUNEGARAN


MENGENAL SEJARAH SINGKAT REKSO PUSTOKO PURA MANGKUNEGARAN

Rekso Pustoko merupakan sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh Pura Mangkunegaran Surakarta yang telah berumur ratusan tahun. Perpustakaan tersebut, didirikan pada tahun 1867 atau pada masa pemerintahan Sri KGPAA Mangkunegara IV. Menurut transkripsi mengenai Sri Mangkunegara IV menyatakan, bahwa Rekso Pustoko Mangkunegaran didirikan sesuai dengan keputusan Mangkunegara IV tertanggal 11 Agustus 1867.
Rekso Pustoko saat ini memiliki 9 orang pegawai yang kesemuanya menjadi staff atas dasar pengabdian kepada peninggalan sejarah dan budaya khas Mangkunagaran. Sementara tugas dari para staff di Rekso Pustoko ini ada tiga hal:
  1. Melakukan pelayanan peminjaman buku, foto, dan arsip.
  2. Katalogisasi dan memilah buku-buku berdasar kriteria yang sudah ditentukan.
  3. Melakukan transliterasi terhadap naskah-naskah beraksara dan berbahasa Jawa, Arab, dan Belanda. Kegiatan tersebut berupa alih aksara, alih media, dan alih ejaan.
Selain itu ada 4 hal pokok yang harus dilakukan oleh para staff Rekso Pustoko, yakni:
  1. Pelayanan peminjaman buku
  2. Pelayanan foto
  3. Pelayanan arsip-arsip Mangkunagaran
  4. Mengalih aksara dan ejaan sesuai dengan EYD atau transliterasi.
Kebanyakan staff Rekso Pustoko adalah seorang pensiunan atau orang-orang yang memang memiliki kepedulian terhadap peninggalan-peninggalan yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi yang dimiliki oleh Mangkunagaran. Mereka semua benar-benar ingin mengabdi tanpa mengharapkan imbalan, karena memang upah yang mereka terima sebagai seorang abdi dalem tidak bisa disamakan dengan upah seorang pegawai profesional sekalipun. Bahkan, upah seorang abdi dalem bisa dikatakan relatif sangat kecil dan tidak akan mampu untuk digunakan menghidupi diri sendiri sekalipun. Oleh sebab itu, mereka patut diberi apresiasi yang tinggi atas peran serta mereka dan kepedulian mereka yang ikut berpartisipasi secara langsung untuk melestarikan semua warisan budaya dan sejarah yang tersimpan dengan baik di Rekso Pustoko yang tentu saja sangat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang sejarah dan budaya Jawa.
Namun demikian, permasalahan klasik yang dialami oleh perpustakaan ini adalah minimnya dana untuk perawatan rutin, pemeliharaan, dan penyelamatan koleksi-koleksinya dari ancaman kerusakan. Padahal, banyak manuskrip-manuskrip kuno yang tersimpan di perpustakaan ini yang membutuhkan perawatan khusus karena usianya yang memang sudah sangat tua dan sangat rapuh dengan kerusakan. Hal ini bisa dimaklumi karena semua aset yang dimiliki oleh Mangkunegaran telah disita pemerintah RI saat Indonesia telah dinyatakan sebagai negara merdeka dan keraton/pura hanya menjadi simbol pemangku budaya saja. Jadi, kerajaan sudah tidak memiliki lagi sumber dana untuk membayar segala kebutuhan yang dibutuhkan oleh keraton/ pura. Sekarang, hampir semua sisa-sisa peninggalan kerajaan, harus menggantungkan nasibnya kepada pemerintah. Meski demikian, pemerintah hanya mau membantu untuk biaya pemeliharaan benda-benda cagar budaya yang dimilikinya saja dan bangunan fisiknya saja, tetapi tidak termasuk isi yang ada di dalamnya sesuai dengan UU nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Agar pembaca bisa lebih memahami peran Rekso Pustoko sebagai lembaga pelestari arsip-arsip dan buku-buku kuno, maka penulis akan menjelaskan terlebih dulu mengenai keberadaan Rekso Pustoko dan sejarah singkat berdirinya Rekso Pustoko yang dihimpun dari beberapa surat kabar dan transkripsi KGPAA Mangkunagara IV.

Sejarah Singkat Berdirinya Rekso Pustoko dan Perkembangannya
Rekso Pustoko merupakan sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh Pura Mangkunagaran. Letaknya berada di sisi timur Pendhopo Ageng Mangkunegaran atau sebelah utara gerbang timur Pura Mangkunegaran. Rekso Pustoko sendiri memiliki arti, maksud dan tujuan. Arti Rekso adalah penjagaan, pengamanan, pemeliharaan, dan mencatat adanya surat-surat. Sedangkan Pustaka artinya adalah tulisan, surat-menyurat. Sehingga, pada awal berdirinya, perpustakaan ini memilliki fungsi sebagai lembaga pengarsipan segala aktifitas pemerintahan Praja Mangkunegaran. Fungsi Reksopustoko sebagai arsip secara de facto dimulai pada tahun 1860 namun, secara de jure Reksopustoko ditetapkan menjadi lembaga penghimpun arsip melalui peraturan KGPAA Mangkunegara IV tertanggal 11 Agustus 1867.
Pada awal berdirinya Reksopustoko menurut keputusan Mangkunagara IV tertanggal 11 Agustus 1867 (Bernas 5 November 1992), pada mulanya Reksopustoko berada di bawah wewenang Kawedanan Hamong Praja. Hamong Praja merupakan kawedanan yang membawahi Sastralukita (Sekretariat), Reksopustoko (arsip), dan Pamongsiswo (pendidikan). Perpustakaan itu merupakan bagian administrasi pemerintahan Praja Mangkunagaran, yang berfungsi mengelola bidang kearsipan istana.
Namun, mulai tahun 1877, Reksopustoko tidak hanya berfungsi sebagai arsip saja, tetapi juga menjadi perpustakaan yang menyimpan buku-buku koleksi Mangkunegara IV. Pada 1877, tugas kearsipan itu ditangani oleh Rekso Wilapa, badan yang didirikan secara khusus untuk itu. Sejak itu, Reksopustoko hanya mengurusi naskah serta buku-buku koleksi pribadi Sri Mangkunagara IV yang berjumlah 306 buah (lihat katalog tahun 1877). Maka dibuatlah katalog daftar buku untuk pertama kalinya pada tahun 1877. Katalog tersebut berjudul “Ing ngandhap punika cacah pratelanipun kagungandalem serat-serat ingkang katampen kala tanggal kaping 26 wulan Nopember 1877 utawi tanggal kaping 20 wulan Dulkangidah tahun Je angka 1806”. Mayoritas buku-buku yang disimpan dalam perpustakaan itu merupakan koleksi pribadi milik Sri Mangkunegara IV.
Menurut harian Kedaulatan Rakyat 5 November 1992, koleksi Rekso Pustoko terus berkembang, sehingga fungsinya tidak hanya sebagai tempat penyimpanan arsip-arsip pemerintahan saja, tetapi juga berbagai karya-karya sastra, seni budaya, piwulang, tata hidup, babad dan sejarah. Bahkan Rekso Pustoko juga menyimpan buku yang sangat langka, yakni buku harian Pangeran Sambernyowo yang menjadi koleksi tertua yang dimiliki Rekso Pustoko.
Koleksi-koleksi pertama Rekso Pustoko menurut transkripsi tentang pemerintahan KGPAA Mangkunagara IV, yakni: Buku-buku Menak, Babad, buku-buku Kawi, buku berceritakan Baratayudha, Arjunasasra, Rama Sansekerta, kitab Injil, Qur’an, Paramasastra, Sana sunu, Bermacam-macam Paniti Sastra, Jiwakara, Cerita fabel dan Anglingdarma, buku-buku ilmiah sejarah, cerita kepahlawanan (panji), Sangkala, buku tentang Yesus Kristus, Katuranggan, Centhini, Silsilah, Carakan Belanda, Jayabaya, Pustaka Raja, buku-buku tentang keris, masak-memasak, Pawukon, dan buku-buku sastra Jawa lainnya Pada waktu itu, buku dan naskah-naskah koleksi Rekso Pustoko boleh dipinjam oleh para abdi dalem Pura Mangkunegaran. Namun peminjam harus membaca buku tersebut di rumah agar tidak mengganggu jam kerja. Peraturan itu berlaku hingga mana pemerintahan Sri MN VII (1916-1944). Kemudian Sri MN VIII pada periode pemerintahannya mulai menambah koleksi Rekso Pustoko.
Pada tahun 1930 (Kedaulatan Rakyat 5 November 1992), Perpustakaan tersebut dipindah ke gedung Societe (Monumen Pers sekarang). Itulah masa kejayaan Rekso Pustoko yang ditandai dengan semakin banyaknya pengunjung dan juga koleksinya. Namun, situasi politik saat itu membuat keberadaan Rekso Pustoko terancam dengan adanya politik bumi hangus Belanda. Maka koleksi Rekso Pustoko segera dipindah dan disimpan di Pura Mangkunagaran. Kemudian, pada tahun 1966 banjir besar melanda kota Solo yang juga menghanyutkan sebagian buku-buku. Sejak itu, seluruh koleksi Rekso Pustoko digudangkan selama 10 tahun. Baru pada tahun 1977 Rekso Pustoko kembali dibuka untuk kepentingan wisata. Namun, karena itulah beberapa koleksi Rekso Pustoko dikabarkan sempat hilang dibawa oleh para wisatawan. Namun, semuanya telah diselesaikan dengan jalan kekeluargaan. Mulai sejak itu, Rekso Pustoko tertutup bagi para wisatawan dan hanya diperuntukkan bagi para pengunjung dan akademisi yang memiliki keinginan untuk mempelajari buku-buku dan arsip-arsip kuno yang dimiliki oleh Rekso Pustoko.
Jika kita lihat pada katalog pertama yang dikeluarkan oleh Rekso Pustoko, selain arsip yang memang disimpan tersendiri, kebanyakan koleksi buku berupa serat babad atau bacaan-bacaan sejarah tradisional Jawa. Jika kita melihat katalog tersebut, maka pada awalnya koleksi buku yang dimiliki Reksopustoko, selain arsip-arsip yang berhubungan dengan pemerintahan Mangkunegaran dan pemerintah Hindia Belanda, jumlah seluruh buku baru berjumlah 306 judul buku. Namun, seiring dengan bertambahnya usia Reksopustoko, koleksi buku yang dimilikinya pun terus bertambah.
Pada tahun 1992, dalam harian Kedaulatan Rakyat 6 November 1992, KRT Husodo Pringgokusumo yang menjadi pimpinan Reksopustoko saat itu menyatakan, bahwa Reksopustoko memiliki sekitar 5.000 buku dan majalah serta 843 naskah kuno yang sudah didata. Dari naskah-naskah kuno tersebut, sudah dilakukan perawatan dan dibuat mikrofilmnya anatara lain Babad Penambangan, Centhini, Babad Kartosuro, Babad Diponegoro, Babad Tanah Jawa, Babad Mataram, Babad Giyanti, Pustoko Rojo Purwo serta kumpulan tuisan Arab dari KGPAA Mangkunagoro I. Saat ini saja, terdapat lebih dari 29.000 judul buku yang sudah tercatat, yang terdiri dari buku-buku yang bertuliskan huruf Jawa, berbahasa Belanda, berbahasa Indonesia dan 11.000 dari jumlah tersebut masih berupa bertuliskan huruf Jawa dan belum ditrasnkripsi ke dalam tulisan latin dan menggunakan bahasa sesuai dengan Ejaan yang Disempurnakan. Jika melihat adanya kenaikan koleksi buku tersebut, bisa kita simpulkan bahwa setiap tahunnya koleksi buku yang dimiliki Reksopustoko terus bertambah. Hal ini disebabkan karena sebagian buku-buku tersebut sudah ditransliterasikan dan dibuat copy-nya agar dokumen asli tidak rusak, sehingga terjadi penambahan jumlah koleksi.
Dari jumlah tersebut, hampir keseluruhannya sudah dalam keadaan rusak atau rapuh sehingga memerlukan perawatan khusus. Oleh sebab itu, maka Rekso Pustoko telah melakukan berbagai upaya untuk melestarikan naskah-naskah kuno tersebut. Upaya pertama adalah dengan melakukan  transliterasi dan transkripsi. Upaya kedua adalah dengan mikrofilmisasi naskah. Yang ketiga adalah dengan memasukkan naskah-naskah kuno ke dalam kertas Sirioblack yang dapat mencegah asam dan hama buku, serta melakukan pembersihan setiap hari, pengkapurbarusan setiap bulan, dan fumisida setiap bulan.
Pernyataan KRT M. Husodo dalam harian Bernas 6 November 1992 yang menjabat sebagai kepala Rekso Pustoko saat itu.yang menyatakan bahwa dalam upaya pelestarian naskah kuno harus dilakukan dengan transliterasi. Salah satu staff yang melakukan pekerjaan tersebut saat itu adalah Marto Darmono (alm). Saat itu ia sudah mampu melakukan transliterasi sekitar 40 judul naskah yang rata-rata tebalnya mencapai 500 halaman. Pekerjaan tersebut dilakukannya siang dan malam. Pada tahun 1992 itu, buku yang sudah ditransliterasi baru 1.335 yang diantaranya  berbahasa Jawa dan 751 judul bertuliskan huruf Jawa.
Upaya lain yang telah dilakukan oleh Rekso Pustoko adalah dengan menyimpannya dalam mikrofilm. Mikrofilmisasi ini dilakukan dengan bantuan dari Cornell University, Itacha, New York. Sekaligus disusun dalam sebuah katalog berdasarkan judul dan tahun penciptaannya atau penerbitannya.
Program ini menurut Husodo dalam harian Bernas 6 November 1992, telah dirintis sejak Desember 1980 lalu oleh Dr. Nancy Florida, dan Alan Feinstein M.A, yang hasilnya dibuat rangkap tiga. Satu disimpan di Leiden, Belanda, satu lagi di Cornell University dan satu di Rekso Pustoko. Hal yang sama diungkapkan pula dalam harian Kedaulatan Rakyat yang terbit pada 6 November 1992. Pernyataan ini didukung dengan adanya pemberitaan pada 23 Juni 1984 yang dimuat dalam harian Suara Merdeka yang memberitakan bahwa Rekso Pustoko telah menerima bantuan dari Perpustakaan Wilayah Jawa Tengah berupa biaya transkripsi, bantuan perlengkapan perpustakaan dan bantuan mikrofilmisasi naskah-naskah kuno dari pihak Belanda. Harian Kedaulatan Rakyat 5 November pun memberitakan hal yang sama. Menurut harian tersebut, Universitas Cornell Amerika Serikat yang mengutus peneliti andalannya, Nancy Florida untuk melakukan pembenahan pada koleksi Rekso Pustoko. saat itu, sekitar 500 naskah kuno berhasil dibuat mikro filmnya sehingga kemungkinan rusak dapat dihindari.
Dengan adanya mikrofilmisasi ini diharapkan naskah-naskah kuno bisa bertahan lebih lama lagi. Dengan begini, nantinya pengunjung tidak perlu lagi mengambil atau mengadakan kontak langsung terhadap  naskah kuno yang asli, dan hanya perlu melihatnya melalui mikrofilm tersebut. Sehingga, keberadaan naskah-naskah kuno tersebut bisa tetap terjaga dari kepunahan.
Selain itu, dengan dilakukannya transliterasi dari aksara Jawa ke aksara latin yang umumnya terdapat dalam naskah-naskah kuno tersebut, diharapkan agar pengunjung bisa lebih mudah membaca naskah-naskah beraksarakan Jawa. Setelah ditransliterasi, proses selanjutnya adalah ditranskirpsi, yakni dibuat salinannya yang sudah menggunakan huruf latin dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Diharapkan, agar dengan adanya transkripsi ini, selain untuk menjaga keawetan naskah-naskah kuno tersebut, pengunjung juga dimudahkan dalam membaca transkrip-transkrip tersebut karena sudah menggunakan bahasa Indonesia atau pun yang masih dituliskan dalam bahasa Jawa saja, bagi yang berminat untuk mempelajari bahasa Jawa.
Menurut Kedaulatan Rakyat 5 November 1992, pekerjaan transliterasi ini dikerjakan oleh pegawai Rekso Pustoko yang selain menguasai penggunaan huruf Jawa juga menguasai huruf latin. Kebanyakan staff saat ini berusia 40 tahunan ke atas. Hampir semua staff dituntut untuk bisa membaca huruf-huruf Jawa dan berbahasa Jawa.
Sebagai salah satu perpustakaan tertua di Jawa Tengah, Reksopustoko telah melakukan berbagai upaya untuk tetap melestarikan buku-buku kuno dan arsip-arsip kuno yang sangat berguna bagi penelitian sejarah dan kebudayaan. Oleh sebab, penting kiranya ada sebuah kepedulian dari kita bersama dan juga pemerintah untuk ikut berpartisipasi dalam mendukung upaya Rekso Pustoko untuk melestarikan, dan merawat seluruh koleksinya yang memang sangat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Jika kita tidak ikut peduli, bukan tidak mungkin koleksi yang tersimpan akan rusak dan tidak dapat lagi dimanfaatkan sebagai sumber pengetahuan yang tidak akan bisa dinilai dengan materi saja. Selain itu, dengan adanya perpustakaan ini sepatutnya dapat dimanfaatkan dengan baik bagi para peneliti sejarah dan budaya, karena banyaknya sumber sejarah, sastra, dan budaya yang tersimpan didalamnya yang sangat berharga bagi ilmu pengetahuan yang hingga saat ini masih belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para akademisi dan masyarakat terutama yang tertarik dengan sejarah Jawa dan budayanya.