MENGENAL SEJARAH SINGKAT
REKSO PUSTOKO PURA MANGKUNEGARAN
Rekso Pustoko merupakan sebuah perpustakaan
yang dimiliki oleh Pura Mangkunegaran Surakarta yang telah berumur ratusan
tahun. Perpustakaan tersebut, didirikan pada tahun 1867 atau pada masa
pemerintahan Sri KGPAA Mangkunegara IV. Menurut transkripsi mengenai Sri
Mangkunegara IV menyatakan, bahwa Rekso Pustoko Mangkunegaran didirikan sesuai dengan keputusan
Mangkunegara IV tertanggal 11 Agustus 1867.
Rekso Pustoko saat ini memiliki 9 orang
pegawai yang kesemuanya menjadi staff atas dasar pengabdian kepada peninggalan
sejarah dan budaya khas Mangkunagaran. Sementara tugas dari para staff di Rekso
Pustoko ini ada tiga hal:
- Melakukan
pelayanan peminjaman buku, foto, dan arsip.
- Katalogisasi
dan memilah buku-buku berdasar kriteria yang sudah ditentukan.
- Melakukan
transliterasi terhadap naskah-naskah beraksara dan berbahasa Jawa, Arab,
dan Belanda. Kegiatan tersebut berupa alih aksara, alih media, dan alih
ejaan.
Selain itu ada 4 hal pokok yang harus
dilakukan oleh para staff Rekso Pustoko, yakni:
- Pelayanan
peminjaman buku
- Pelayanan
foto
- Pelayanan
arsip-arsip Mangkunagaran
- Mengalih
aksara dan ejaan sesuai dengan EYD atau transliterasi.
Kebanyakan staff Rekso Pustoko adalah seorang
pensiunan atau orang-orang yang memang memiliki kepedulian terhadap
peninggalan-peninggalan yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi yang
dimiliki oleh Mangkunagaran.
Mereka semua benar-benar ingin mengabdi tanpa mengharapkan imbalan, karena
memang upah yang mereka terima sebagai seorang abdi dalem tidak bisa disamakan
dengan upah seorang pegawai profesional sekalipun. Bahkan, upah seorang abdi
dalem bisa dikatakan relatif sangat kecil dan tidak akan mampu untuk digunakan
menghidupi diri sendiri sekalipun. Oleh sebab itu, mereka patut diberi
apresiasi yang tinggi atas peran serta mereka dan kepedulian mereka yang ikut
berpartisipasi secara langsung untuk melestarikan semua warisan budaya dan
sejarah yang tersimpan dengan baik di Rekso Pustoko yang tentu saja sangat
berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang sejarah dan
budaya Jawa.
Namun demikian,
permasalahan klasik yang dialami oleh perpustakaan ini adalah minimnya dana
untuk perawatan rutin, pemeliharaan, dan penyelamatan koleksi-koleksinya dari
ancaman kerusakan. Padahal, banyak manuskrip-manuskrip kuno yang tersimpan di
perpustakaan ini yang membutuhkan perawatan khusus karena usianya yang memang
sudah sangat tua dan sangat rapuh dengan kerusakan. Hal
ini bisa dimaklumi karena semua aset yang dimiliki oleh Mangkunegaran telah disita pemerintah RI saat Indonesia
telah dinyatakan sebagai negara merdeka dan keraton/pura hanya menjadi simbol pemangku budaya saja. Jadi, kerajaan sudah tidak memiliki lagi sumber dana untuk membayar
segala kebutuhan yang dibutuhkan oleh keraton/ pura. Sekarang, hampir semua sisa-sisa
peninggalan kerajaan, harus menggantungkan nasibnya kepada pemerintah. Meski demikian,
pemerintah hanya mau membantu untuk biaya pemeliharaan benda-benda cagar budaya
yang dimilikinya saja dan bangunan fisiknya saja, tetapi tidak termasuk isi
yang ada di dalamnya sesuai dengan UU nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Agar pembaca bisa lebih memahami peran Rekso Pustoko
sebagai lembaga pelestari arsip-arsip dan buku-buku kuno, maka penulis akan
menjelaskan terlebih dulu mengenai keberadaan Rekso Pustoko dan sejarah singkat
berdirinya Rekso Pustoko yang dihimpun dari beberapa surat kabar dan
transkripsi KGPAA Mangkunagara IV.
Sejarah
Singkat Berdirinya Rekso Pustoko dan Perkembangannya
Rekso Pustoko merupakan sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh Pura
Mangkunagaran. Letaknya berada di sisi timur Pendhopo Ageng Mangkunegaran atau sebelah utara gerbang timur Pura
Mangkunegaran. Rekso Pustoko sendiri memiliki arti, maksud
dan tujuan. Arti Rekso adalah penjagaan, pengamanan, pemeliharaan, dan mencatat
adanya surat-surat. Sedangkan Pustaka artinya adalah tulisan, surat-menyurat.
Sehingga, pada awal berdirinya, perpustakaan ini memilliki fungsi sebagai
lembaga pengarsipan segala aktifitas pemerintahan Praja Mangkunegaran. Fungsi
Reksopustoko sebagai arsip secara de facto dimulai pada tahun 1860 namun,
secara de jure Reksopustoko ditetapkan menjadi lembaga penghimpun arsip melalui
peraturan KGPAA Mangkunegara IV tertanggal 11 Agustus 1867.
Pada awal berdirinya Reksopustoko menurut
keputusan Mangkunagara IV tertanggal 11 Agustus 1867 (Bernas 5 November 1992),
pada mulanya Reksopustoko berada di bawah wewenang Kawedanan Hamong Praja.
Hamong Praja merupakan kawedanan yang membawahi Sastralukita (Sekretariat),
Reksopustoko (arsip), dan Pamongsiswo (pendidikan). Perpustakaan itu merupakan
bagian administrasi pemerintahan Praja Mangkunagaran, yang berfungsi mengelola
bidang kearsipan istana.
Namun, mulai tahun 1877, Reksopustoko tidak
hanya berfungsi sebagai arsip saja, tetapi juga menjadi perpustakaan yang menyimpan
buku-buku koleksi Mangkunegara IV. Pada 1877, tugas kearsipan itu ditangani
oleh Rekso Wilapa, badan yang didirikan secara khusus untuk itu. Sejak itu,
Reksopustoko hanya mengurusi naskah serta buku-buku koleksi pribadi Sri
Mangkunagara IV yang berjumlah 306 buah (lihat katalog tahun 1877). Maka
dibuatlah katalog daftar buku untuk pertama kalinya pada tahun 1877. Katalog
tersebut berjudul “Ing ngandhap punika cacah pratelanipun kagungandalem
serat-serat ingkang katampen kala tanggal kaping 26 wulan Nopember 1877 utawi
tanggal kaping 20 wulan Dulkangidah tahun Je angka 1806”. Mayoritas buku-buku
yang disimpan dalam perpustakaan itu merupakan koleksi pribadi milik Sri Mangkunegara IV.
Menurut harian Kedaulatan Rakyat 5 November
1992, koleksi Rekso Pustoko terus berkembang, sehingga fungsinya tidak hanya
sebagai tempat penyimpanan arsip-arsip pemerintahan saja, tetapi juga berbagai
karya-karya sastra, seni budaya, piwulang, tata hidup, babad dan sejarah.
Bahkan Rekso Pustoko juga menyimpan buku yang sangat langka, yakni buku harian
Pangeran Sambernyowo yang menjadi koleksi tertua yang dimiliki Rekso Pustoko.
Koleksi-koleksi pertama Rekso Pustoko menurut
transkripsi tentang pemerintahan KGPAA Mangkunagara IV, yakni: Buku-buku Menak,
Babad, buku-buku Kawi, buku berceritakan Baratayudha, Arjunasasra, Rama
Sansekerta, kitab Injil, Qur’an, Paramasastra, Sana sunu, Bermacam-macam Paniti
Sastra, Jiwakara, Cerita fabel dan Anglingdarma, buku-buku ilmiah sejarah,
cerita kepahlawanan (panji), Sangkala, buku tentang Yesus Kristus, Katuranggan,
Centhini, Silsilah, Carakan Belanda, Jayabaya, Pustaka Raja, buku-buku tentang
keris, masak-memasak, Pawukon, dan buku-buku sastra Jawa lainnya Pada waktu
itu, buku dan naskah-naskah koleksi Rekso Pustoko boleh dipinjam oleh para abdi
dalem Pura Mangkunegaran. Namun peminjam harus membaca buku tersebut di rumah
agar tidak mengganggu jam kerja. Peraturan itu berlaku hingga mana pemerintahan
Sri MN VII (1916-1944). Kemudian Sri MN VIII pada periode pemerintahannya mulai
menambah koleksi Rekso Pustoko.
Pada tahun 1930 (Kedaulatan Rakyat 5 November
1992), Perpustakaan tersebut dipindah ke gedung Societe (Monumen Pers
sekarang). Itulah masa kejayaan Rekso Pustoko yang ditandai dengan semakin banyaknya
pengunjung dan juga koleksinya. Namun, situasi politik saat itu membuat keberadaan Rekso
Pustoko terancam dengan adanya politik bumi hangus Belanda. Maka koleksi Rekso
Pustoko segera dipindah dan disimpan di Pura Mangkunagaran. Kemudian, pada
tahun 1966 banjir besar melanda kota Solo yang juga menghanyutkan sebagian
buku-buku. Sejak itu, seluruh koleksi Rekso Pustoko digudangkan selama 10
tahun. Baru pada tahun 1977 Rekso Pustoko kembali dibuka untuk kepentingan
wisata. Namun, karena itulah beberapa koleksi Rekso Pustoko dikabarkan sempat
hilang dibawa oleh para wisatawan. Namun, semuanya telah diselesaikan dengan
jalan kekeluargaan. Mulai sejak itu, Rekso Pustoko tertutup bagi para wisatawan
dan hanya diperuntukkan bagi para pengunjung dan akademisi yang memiliki
keinginan untuk mempelajari buku-buku dan arsip-arsip kuno yang dimiliki oleh
Rekso Pustoko.
Jika kita lihat pada katalog pertama yang
dikeluarkan oleh Rekso Pustoko, selain arsip yang memang disimpan tersendiri,
kebanyakan koleksi buku berupa serat babad atau bacaan-bacaan sejarah
tradisional Jawa. Jika kita melihat katalog tersebut, maka pada awalnya koleksi
buku yang dimiliki Reksopustoko, selain arsip-arsip yang berhubungan dengan
pemerintahan Mangkunegaran dan pemerintah Hindia Belanda, jumlah seluruh buku
baru berjumlah 306 judul buku. Namun, seiring dengan bertambahnya usia
Reksopustoko, koleksi buku yang dimilikinya pun terus bertambah.
Pada tahun 1992, dalam harian Kedaulatan
Rakyat 6 November 1992, KRT Husodo Pringgokusumo yang menjadi pimpinan
Reksopustoko saat itu menyatakan, bahwa Reksopustoko memiliki sekitar 5.000
buku dan majalah serta 843 naskah kuno yang sudah didata. Dari naskah-naskah
kuno tersebut, sudah dilakukan perawatan dan dibuat mikrofilmnya anatara lain
Babad Penambangan, Centhini, Babad Kartosuro, Babad Diponegoro, Babad Tanah
Jawa, Babad Mataram, Babad Giyanti, Pustoko Rojo Purwo serta kumpulan tuisan
Arab dari KGPAA Mangkunagoro I. Saat ini saja, terdapat lebih dari 29.000 judul
buku yang sudah tercatat, yang terdiri dari buku-buku yang bertuliskan huruf
Jawa, berbahasa Belanda, berbahasa Indonesia dan 11.000 dari jumlah tersebut
masih berupa bertuliskan huruf Jawa dan belum ditrasnkripsi ke dalam tulisan
latin dan menggunakan bahasa sesuai dengan Ejaan yang Disempurnakan. Jika
melihat adanya kenaikan koleksi buku tersebut, bisa kita simpulkan bahwa setiap
tahunnya koleksi buku yang dimiliki Reksopustoko terus bertambah. Hal ini
disebabkan karena sebagian buku-buku tersebut sudah ditransliterasikan dan
dibuat copy-nya agar dokumen asli tidak rusak, sehingga terjadi penambahan jumlah
koleksi.
Dari jumlah tersebut, hampir keseluruhannya
sudah dalam keadaan rusak atau rapuh sehingga memerlukan perawatan khusus. Oleh
sebab itu, maka Rekso Pustoko telah melakukan berbagai upaya untuk melestarikan
naskah-naskah kuno tersebut. Upaya pertama adalah dengan melakukan transliterasi dan transkripsi. Upaya kedua
adalah dengan mikrofilmisasi naskah. Yang ketiga adalah dengan memasukkan
naskah-naskah kuno ke dalam kertas Sirioblack yang dapat mencegah asam dan hama
buku, serta melakukan pembersihan setiap hari, pengkapurbarusan setiap bulan,
dan fumisida setiap bulan.
Pernyataan KRT M. Husodo dalam harian Bernas 6
November 1992 yang menjabat sebagai kepala Rekso Pustoko saat itu.yang
menyatakan bahwa dalam upaya pelestarian naskah kuno harus dilakukan dengan
transliterasi. Salah satu staff yang melakukan pekerjaan tersebut saat itu
adalah Marto Darmono (alm). Saat itu ia sudah mampu melakukan transliterasi
sekitar 40 judul naskah yang rata-rata tebalnya mencapai 500 halaman. Pekerjaan
tersebut dilakukannya siang dan malam. Pada tahun 1992 itu, buku yang sudah
ditransliterasi baru 1.335 yang diantaranya
berbahasa Jawa dan 751 judul bertuliskan huruf Jawa.
Upaya lain yang telah dilakukan oleh Rekso
Pustoko adalah dengan menyimpannya dalam mikrofilm. Mikrofilmisasi ini
dilakukan dengan bantuan dari Cornell University, Itacha, New York. Sekaligus
disusun dalam sebuah katalog berdasarkan judul dan tahun penciptaannya atau
penerbitannya.
Program ini menurut Husodo dalam harian Bernas
6 November 1992, telah dirintis sejak Desember 1980 lalu oleh Dr. Nancy
Florida, dan Alan Feinstein M.A, yang hasilnya dibuat rangkap tiga. Satu
disimpan di Leiden, Belanda, satu lagi di Cornell University dan satu di Rekso
Pustoko. Hal yang sama diungkapkan pula dalam harian Kedaulatan Rakyat yang
terbit pada 6 November 1992. Pernyataan ini didukung dengan adanya pemberitaan
pada 23 Juni 1984 yang dimuat dalam harian Suara Merdeka yang memberitakan
bahwa Rekso Pustoko telah menerima bantuan dari Perpustakaan Wilayah Jawa
Tengah berupa biaya transkripsi, bantuan perlengkapan perpustakaan dan bantuan
mikrofilmisasi naskah-naskah kuno dari pihak Belanda. Harian Kedaulatan Rakyat
5 November pun memberitakan hal yang sama. Menurut harian tersebut, Universitas
Cornell Amerika Serikat yang mengutus peneliti andalannya, Nancy Florida untuk
melakukan pembenahan pada koleksi Rekso Pustoko. saat itu, sekitar 500 naskah
kuno berhasil dibuat mikro filmnya sehingga kemungkinan rusak dapat dihindari.
Dengan adanya mikrofilmisasi ini diharapkan
naskah-naskah kuno bisa bertahan lebih lama lagi. Dengan begini, nantinya
pengunjung tidak perlu lagi mengambil atau mengadakan kontak langsung
terhadap naskah kuno yang asli, dan
hanya perlu melihatnya melalui mikrofilm tersebut. Sehingga, keberadaan
naskah-naskah kuno tersebut bisa tetap terjaga dari kepunahan.
Selain itu, dengan dilakukannya transliterasi
dari aksara Jawa ke aksara latin yang umumnya terdapat dalam naskah-naskah kuno
tersebut, diharapkan agar pengunjung bisa lebih mudah membaca naskah-naskah
beraksarakan Jawa. Setelah ditransliterasi, proses selanjutnya adalah
ditranskirpsi, yakni dibuat salinannya yang sudah menggunakan huruf latin dan
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Diharapkan, agar dengan adanya
transkripsi ini, selain untuk menjaga keawetan naskah-naskah kuno tersebut,
pengunjung juga dimudahkan dalam membaca transkrip-transkrip tersebut karena
sudah menggunakan bahasa Indonesia atau pun yang masih dituliskan dalam bahasa
Jawa saja, bagi yang berminat untuk mempelajari bahasa Jawa.
Menurut Kedaulatan Rakyat 5 November 1992,
pekerjaan transliterasi ini dikerjakan oleh pegawai Rekso Pustoko yang selain
menguasai penggunaan huruf Jawa juga menguasai huruf latin. Kebanyakan staff
saat ini berusia 40 tahunan ke atas. Hampir semua staff dituntut untuk bisa
membaca huruf-huruf Jawa dan berbahasa Jawa.
Sebagai salah satu perpustakaan tertua di Jawa
Tengah, Reksopustoko telah melakukan berbagai upaya untuk tetap melestarikan
buku-buku kuno dan arsip-arsip kuno yang sangat berguna bagi penelitian sejarah
dan kebudayaan. Oleh sebab,
penting kiranya ada sebuah kepedulian dari kita bersama dan juga pemerintah
untuk ikut berpartisipasi dalam mendukung upaya Rekso Pustoko untuk
melestarikan, dan merawat seluruh koleksinya yang memang sangat berguna bagi
perkembangan ilmu pengetahuan. Jika kita tidak ikut peduli, bukan tidak mungkin
koleksi yang tersimpan akan rusak dan tidak dapat lagi dimanfaatkan sebagai
sumber pengetahuan yang tidak akan bisa dinilai dengan materi saja. Selain itu,
dengan adanya perpustakaan ini sepatutnya dapat dimanfaatkan dengan baik bagi
para peneliti sejarah dan budaya, karena banyaknya sumber sejarah, sastra, dan
budaya yang tersimpan didalamnya yang sangat berharga bagi ilmu pengetahuan
yang hingga saat ini masih belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para akademisi
dan masyarakat terutama yang tertarik dengan sejarah Jawa dan budayanya.