Senin, 14 Januari 2013

SOLOSCHE RADIO VEREENIGING, STASIUN RADIO PERTAMA BANGSA INDONESIA

SOLOSCHE RADIO VEREENIGING, STASIUN RADIO PERTAMA BANGSA INDONESIA

Pernahkah anda mendengar mengenai stasiun radio RRI atau Radio Republik Indonesia? Hampir seluruh rakyat Indonesia pasti tahu dan pernah mendengar mengenai stasiun radio kebanggaan bangsa Indonesia ini. RRI memang memiliki peran yang besar dalam perjuangan rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, terutama sebagai media komunikasi di antara para pejuang Indonesia. Tetapi tahukah anda bahwa RRI sebenarnya bukanlah stasiun radio pertama milik bangsa Indonesia? Sebenarnya RRI memang bukan stasiun radio pertama yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan Solosche Radio Vereeniging atau SRV. Nah, sebagian besar dari kita pasti belum tahu atau bahkan tidak pernah mendengar nama Solosche Radio Vereeninging atau SRV yang merupakan stasiun radio pertama yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, penulis di sini akan mencoba untuk mengenalkan serta mengupas secara singkat mengenai sejarah berdirinya stasiun radio pertama yang dimiliki dan dikelola oleh bangsa Indonesia sendiri.

Awal Dikenalnya Teknologi Pesawat Radio
Mengenal sejarah awal berdirinya stasiun radio milik bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari awal masuknya teknologi radio yang masuk ke tanah Hindia Belanda (Indonesia). Sebagai daerah kekuasaan Belanda, seluruh aspek kehidupan di wilayah Hindia Belanda sedikit demi sedikit mulai dipengaruhi oleh kebudayaan Barat, khususnya dalam bidang teknologi. Memang, salah satu segi positif dari berkuasanya Belanda atas wilayah Hindia Belanda adalah masuknya berbagai teknologi yang berkembang di Eropa ke tanah Hindia Belanda. Teknologi-teknologi tersebut misalnya saja seperti teknologi mesin uap, kereta api, sepeda, mobil, piringan hitam, telegraph, tilpon, radio, dsb.  
Nah, berkenaan dengan masuknya teknologi radio ke Hindia Belanda pada awal tahun 1920-an, teknologi ini tentu saja hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Oleh sebab itu, bangsa pribumi pertama yang dapat menikmati teknologi ini adalah dari kalangan kerajaan dan salah satunya adalah Mangkunegaran, Surakarta. Teknologi yang paling mutahir di zamannya ini mulai dikenal oleh kalangan Istana Mangkunegaran pada tahun 1927. Ketika itu, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara VII menerima persembahan dari seorang Belanda berupa pesawat radio receiver (penerima). Pada waktu itu, hampir semua orang yang hadir ikut terheran-heran, bagaimana sebuah benda seperti itu dapat mengeluarkan suara-suara musik yang entah dari mana datangnya.
Setelah itu, Sri Mangkunegara VII segera mempercayakan pengelolaan pesawat radio tersebut kepada Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Praja Mangkunegaran, yang ketika itu dijabat oleh RM. Ir. Sarsito Mangunkusumo. Kemudian pada tanggal 31 Maret 1927, diperdengarkanlah suara pidato pertama Ratu Wilhelmina yang disiarkan menggunakan pesawat radio secara langsung yang ditujukan ke wilayah-wilayah jajahan Belanda di Asia, Afrika, dan Amerika. Sejak itu, pesawat radio yang disebut sebagai “radio toestel” mulai diperdengarkan di lingkungan Istana Mangkunegaran secara terbuka.
Sejak diperkenalkannya teknologi pesawat radio di lingkungan Istana Mangkunegaran pada tahun 1927, Sri Mangkunegara VII sebagai penguasa Mangkunegaran saat itu, mulai tertarik dengan teknologi pesawat radio tersebut. Kemudian, Sri Mangkunegara VII pun segera membeli sebuah pemancar tua milik sebuah radio swasta Belanda di Yogyakarta, yakni Djokjasche Radio Vereeeniging pada tahun 1930. Pemancar ini kemudian diserahkan kepada sebuah perkumpulan seni Mangkunegaran yang bernama Javansche Kuntskring Mardiraras Mangkunegaran untuk dipergunakan sebaik-baiknya. Dengan dibelinya alat pemancar tersebut, Mangkunegaran mulai memiliki sebuah stasiun radio amatir pertamanya dengan kode pemancar PK2MN.[1] Sejak itu, alunan musik-musik gamelan atau yang lebih dikenal sebagai klenengan mulai disiarkan melalui pemancar tersebut. Dengan demikian, meskipun masih berupa stasiun radio amatir, Sri Mangkunegara VII sudah memulai suatu langkah awal untuk mewujudkan cita-citanya memiliki sebuah stasiun radio sendiri sekaligus menjadi pelopor bagi berdirinya stasiun radio pertama milik bangsa pribumi.
Namun demikian, kualitas suara yang dihasilkan oleh PK2MN masih kurang bagus. Hal ini disebabkan karena teknologi dan pemancar yang digunakan sudah cukup tua. Oleh sebab itu, Ir. Sarsito sebagai pengelola pemancar radio mengusulkan agar segera melakukan pembenahan, dan segera melakukan pembelian pemancar baru dan peralatan pendukung lainnya, sebab pemancar dan peralatan pendukung lainnya sudah cukup tua dan memang sudah tidak layak lagi untuk terus dipakai. Usulan Sarsito ini diungkapkan dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh seluruh anggota dan pengurus Javansche Kuntskring Mardiraras Mangkunegaran. Dalam rapat tersebut, usulan Sarsito ini diterima dan organisasi sepakat untuk menunjuk Ir. Sarsito sebagai pimpinan pelaksana pengadaan alat.

Berdirinya Solosche Radio Vereeniging dan Perkembangannya
Setelah adanya usulan dari Ir. Sarsito untuk segera melakukan pengadaan pemancar radio yang baru, nampaknya kesadaran untuk mendirikan suatu stasiun radio yang lebih profesional dan modern mulai muncul. Oleh sebab itu, pada tanggal 1 April 1933 diselenggarakanlah rapat yang bertempat di Gedung Societeit Sasana Suka[2] Surakarta (Monumen Pers sekarang) yang membahas mengenai rencana pendirian suatu stasiun radio yang memiliki semangat kebangsaan. Dalam rapat tersebut, akhirnya disepakati pendirian sebuah perhimpunan siaran radio sekaligus menggagas pendirian suatu stasiun radio baru yang lebih profesional yang dinamakan dengan Solosche Radio Vereeniging (SRV). Dalam rapat tersebut juga disepakati pengurus SRV dan memilih Ir. Sarsito Mangkunkusumo sebagai ketuanya. Berikut adalah susunan pengurus SRV:
Ketua                       : RM. Ir. Sarsito Mangunkusumo
Sekretaris                 : RM. Soetarto Hardjowahono
Bendahara                : Lim Tik Liang
Komisaris                 :  RT. Dr. Marmohoesodo, Tjan Ing Twan, Louwson,     Wongsohartono, Tjiong Joe Hok, Prijohartono.
Komisi Teknik          :  RM. Ir. Sarsito Mangunkusumo, Louwson, Tjiong Joe Hok
Komisi Siaran           :  RM. Sutarto Hardjowahono, Liem Tik Liang, Tjan Ing Tjwan
Komisi Propaganda  :  RT. Dr. Marmohoesodo, Wongsohartono, Prijohartono
Setelah penetapan susunan pengurus, segera diikuti dengan pengadaan iuran kontribusi sebesar f 1 (satu gulden) untuk setiap orang yang hadir dalam rapat sebagai modal awal. Seperti halnya dengan para pelanggan majalah atau koran yang diwajibkan membayar iuran kontribusi, SRV pun melakukan hal yang sama untuk setiap anggota pelanggannya. Selain itu, SRV juga memberikan layanan majalah bulanan Pewarta SRV kepada setiap pelanggannya yang telah membayar iuran kontribusi. Di dalam majalah tersebut selain berisi program-progam SRV juga terdapat rincian laporan keuangan SRV, sehingga para pelanggan dapat mengetahui kondisi keungan SRV. Selain dari iuran kontribusi para pelanggan yang diadakan setiap bulan, SRV juga membuka peluang dan bahkan mengharapkan adanya donasi dari para dermawan. Hal ini disebabkan karena kebutuhan SRV untuk melakukan pembelian alat pemancar baru membutuhkan dana yang cukup besar, yakni sebesar f 1500.  Oleh sebab itu, sejak pendiriannya pada 1 April 1933, SRV masih menggunakan pemancar PK2MN. Namun, karena adanya bantuan dari Sri Paduka Mangkunegara VII dan beberapa donatur, dana pengadaan alat pemancar baru tersebut dapat tercukupi.
Alat pemancar yang baru akhirnya dapat didatangkan pada tanggal 5 Januari 1934. Ini artinya, SRV membutuhkan waktu hampir satu tahun untuk melakukan pengadaan alat pemancar yang baru. Hal ini dapat dimungkinkan selain karena mahalnya alat pemancar yang baru dan sulitnya negosiasi antara SRV dengan PTT (Pos, Telgraph en Telephone  atau Jawatan Pos, Telegraf, dan Telepon Pemerintah Hindia Belanda), sebab pada awal tahun 1934 Pemerintah Hindia Belanda juga sedang dalam tahap persiapan untuk mendirikan stasiun radio pemerintah yang dinamakan Nederlandsch Indische Radio Oemroep Maatschappij (Perusahaan Siaran Radio Hindia Belanda) atau NIROM. Pemancar tersebut segera ditempatkan di studio SRV yang berada di Pendapa Kepatihan, tepatnya berada di sebuah ruangan yang terletak di sebelah Timur Pendapa. Pada sore harinya, SRV langsung melakukan uji coba pemancar baru dengan menampilkan gending-gending klenengan yang ditampilkan oleh de Javansche Kuntskring Mardiraras. Siaran perdana tersebut ternyata dapat ditangkap hingga ke Belanda. Kemudian, siaran SRV mulai dilakukan secara rutin dimulai pada tanggal 24 Januari 1934, dengan diawali oleh pidato yang disampaikan Patih Mangkunegaran KRMT Sarwoko Mangunkusumo yang juga merupakan kakak kandung RM. Ir. Sarsito Mangunkusumo.
Studio SRV yang ada di Pendapa Kepatihan Mangkunegaran dianggap kurang mencukupi dan adanya gagasan agar SRV bisa memiliki sebuah studio sendiri. Oleh sebab itu, dalam Kongres I SRV diputuskan bahwa SRV harus memiliki studio sendiri. Tetapi, dana yang dibutuhkan untuk membangun gedung studio ini sangat besar. Ketika itu, Sri Mangkunegara VII sendiri ikut membantu permasalahan yang dihadapi SRV dengan menghibahkan sebidang tanahnya yang berada di daerah Kestalan, Surakarta. Setelah dana terkumpul, pembangunan gedung studio ini pun segera dimulai dan diawali dengan peletakan batu pertama pada tanggal 15 September 1935 yang dilakukan oleh Gusti Nurul, Putri Mangkunegara VII. Akhirnya, studio ini pun dapat selesai dan diresmikan pada tanggal 23 Agustus 1936. Gedung studio SRV saat ini digunakan oleh RRI Surakarta yang berada di dekat Stasiun Balapan tepatnya di Jl. Abdulrahman Saleh Kestalan, Surakarta.
Meskipun telah memiliki pemancar baru dan telah memiliki gedung studio sendiri, SRV masih membutuhkan pemancar yang memiliki kekuatan yang lebih besar untuk menyempurnakan kualitas siarannya. Oleh sebab itu, pada tahun 1937 SRV memerlukan untuk mendatangkan pemancar yang berkekuatan sangat besar. Pemancar ini dinamakan Archipel Zender (Pemancar Kepulauan), atau sebuah pemancar yang dapat menjangkau hampir seluruh kepulauan Nusantara. Keinginan SRV ini dapat terwujud karena adanya bantuan pinjaman dari salah seorang donatur. Oleh sebab itu, kekuatan pemancar yang dimiliki SRV cukup besar, sehingga mampu menjangkau di hampir seluruh kota di Jawa, Madura, Sumatra, Bali, Sumbawa, Kalimantan, serta Sulawesi, bahkan hingga ke negri Belanda.
Sebagai sebuah stasiun radio, SRV memiliki banyak program-program unggulan, terutama program-program siaran yang bersifat kebudayaan. Hampir semua isi siaran SRV merupakan siaran kebudayaan, terutama budaya-budaya timur, misalnya saja kesenian Melayu, Sunda, Jawa, Bali, Tionghoa, Jepang, Arab dsb. Oleh sebab itu, SRV dapat dikatakan merupakan radio perintis Radio Ketimuran. Namun demikian, karena banyaknya permintaan dari pelanggan, SRV juga memutar musik-musik Hawaiian, karena musik Hawaiian memang sedang sangat diminati pada waktu itu. Selain itu, SRV juga memiliki program ceramah yang dinamakan sebagai siaran pidato mengenai berbagai hal seperti ceramah kebudayaan, agama, pendidikan, kesehatan dan masalah-masalah teraktual yang terjadi. Program-program SRV tersebut sangat diminati oleh para pendengarnya, sehingga jumlah pelanggan SRV terus meningkat dari tahun ke tahun.
Berdirinya SRV pada 1 April 1933 tersebut ternyata memiliki dampak yang cukup signifikan bagi masyarakat Hindia Belanda yang haus akan hiburan. Oleh sebab itu, siring dengan berjalannya waktu, jumlah pelanggan dan pendengar SRV semakin meningkat, sehingga SRV perlu untuk mendirikan cabang-cabangnya di beberapa kota besar di Hindia Belanda tidak lama setelah berdirinya SRV pada 1 April 1933. Pendirian cabang-cabang SRV di kota-kota besar di kawasan Hindia Belanda, misalnya di Kota Batavia, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Medan. Di kemudian hari, cabang-cabang ini dapat berkembang dan mampu untuk mendirikan stasiun radio sendiri dan mengelolanya secara mandiri. Tetapi, sebagai organisasi yang lebih tua berdiri, SRV terus melakukan pendampingan bagi stasiun-stasiun radio yang baru saja berdiri di kota-kota tersebut. SRV pun terus melakukan kerja sama dalam bidang penyiaran di antara stasiun-stasiun radio tersebut. Program-program yang ditawarkan oleh stasiun-stasiun radio tersebut lebih dominan pada budaya-budaya timurnya, sehingga bersifat sebagai Radio Ketimuran.
Selain itu, SRV pun terus dapat bersaing dengan radio Pemerintah Hindia Belanda, NIROM. Bahkan, SRV dan NIROM terus bersaing melalui program-programnya, sehingga persaingan ini mengesankan bahwa SRV sedang melakukan perlawanan budaya menghadapi NIROM yang menawarkan program-program budaya barat. Apalagi, secara teknologi maupun keuangan, NIROM jelas jauh lebih unggul dari pada SRV karena didukung penuh oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dari persaingan ini, SRV ternyata dapat dikatakan berhasil dalam melakukan perlawanan budaya melawan NIROM, sebab NIROM pun pada akhirnya ikut menawarkan program-program yang menyuguhkan budaya ketimuran dan me-relay sebagian program yang disiarkan oleh SRV. Namun demikian, pada awal tahun 1937-an, hubungan kerja sama antara NIROM dan SRV terputus, sehingga semakin memperuncing persaingan di antara dua stasiun radio besar di kawasan Hindia Belanda.
Namun, eksistensi SRV akhirnya harus berakhir dengan datangnya armada militer Jepang ke kawasan Nusantara pada awal tahun 1942-an. Jepang pun segera mengambil alih pusat-pusat pemerintahan yang ada di Hindia Belanda termasuk mengambil alih stasiun-stasiun radio untuk mendukung kepentingan militernya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa SRV merupakan stasiun radio pertama yang dimiliki dan dikelola oleh bangsa Indonesia sejak masuknya teknologi radio ke Hindia Belanda pada tahun 1920-an. SRV juga dapat dikatakan merupakan simbol kebangkitan dunia penyiaran yang ada di Indonesia. SRV merupakan sebuah bukti nyata bahwa bangsa Indonesia pun sudah mampu mengembangkan teknologi radio dan mampu membangun suatu stasiun radio yang cukup besar pengaruhnya di Hindia Belanda kala itu. Hadirnya SRV seharusnya dapat menjadi suatu kebanggaan nasional, sebab pada saat itu bangsa Indonesia melalui SRV telah mampu bersaing dengan NIROM yang mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai penguasa saat itu. Apalagi, secara teknologi dan secara keuangan NIROM tentu saja jauh lebih unggul jika dibandingkan dengan SRV. Tetapi, dengan semangat juang dan kuatnya rasa kebangsaan SRV, telah membuat berbagai keterbatasan dan kendala yang ada, menjadi sebuah dorongan kuat bagi SRV untuk dapat memuaskan para pendengarnya dan meraih kesuksesan dalam persaingannya melawan stasiun-stasiun radio besar lainnya. Oleh sebab itu, SRV bisa dikatakan merupakan simbol perlawanan budaya melawan budaya barat dan menjadi pendorong semangat kebangsaan bagi bangsa Indonesia melalui siaran-siaran yang bersifat ketimurannya.



[1]     PK2MN merupakan  sebuah kode nama pemancar radio amatir (call sign) milik Mangkunegaran. PK 2 sendiri merupakan kode radio amatir untuk wilayah Jawa Tengah, sedangkan MN merupakan kode yang merujuk pada Mangkunegaran.
[2]     Sebuah gedung Balai Pertemuan Kerabat Mangkunegaran yang dibangun pada tahun 1918 atas perintah KGPAA Sri Mangkunegara VII.

JUGUN IANFU DI INDONESIA, IRONI PEREMPUAN INDONESIA MASA PENDUDUKAN JEPANG

JUGUN IANFU DI INDONESIA, IRONI PEREMPUAN INDONESIA MASA PENDUDUKAN JEPANG

Awal tahun 1942 merupakan tahun-tahun penuh pengharapan bagi rakyat Indonesia, sebab rakyat Indonesia menganggap, bahwa Jepang akan bisa melepaskan penderitaan rakyat dari belenggu penjajahan Belanda. Di awal tahun tersebut, Jepang memulai serangannya di wilayah Pasifik yang sudah dimulai sejak 8 Desember 1941. Di awal tahun 1942 Jepang mulai menduduki wilayah-wilayah di Indonesia, meski tidak secara serempak.
Gurita Jepang di sebelah barat Kalimantan yang tiba pada tanggal 24 Februari di Kepulauan Anambas terdiri dari empat penjelajah berat, tiga penjelajah ringan, sebuah kapal induk ringan.  Terjadilah pertempuran antara sekutu melawan Jepang di sekitar Pulau Bawean, dekat Surabaya, di utara Tuban. Di sini, baik taktis maupun strategis, Jepang mencapai kemenangan gemilang, tanpa kehilangan satu kapal pun. Satu minggu kemudian, 8 Maret 1942, tentara Belanda di Pulau Jawa menyerah kepada Jepang. Hanya dalam beberapa hari selama dan sesudah Pertempuran Laut Jawa itu, hancurlah kapal-kapal penjelajah sekutu.[1] Hingga akhirnya pada bulan yang sama, Jepang secara resmi berhasil menduduki seluruh wilayah di Indonesia. Jepang saat itu menawarkan harapan baru bagi rakyat Indonesia.
Saat itu, Indonesia  di bawah pemerintahan militer Jepang telah dibagi menjadi tiga wilayah. Sumatera ditempatkan di bawah Angkatan Darat ke-25 (Rikugun), sedangkan Jawa dan Madura berada di bawah Angkatan Darat ke-16; kedua wilayah ini berada di bawah Angkatan Darat wilayah ke-7 dengan markas besar di Singapura. Kalimantan dan Indonesia Timur dikuasai oleh Angkatan Laut (Kaigun).[2]
Pada saat itu, tujuan utama Jepang adalah menyusun dan mengarahkan kembali perekonomian Indonesia dalam rangka menopang upaya perang Jepang dan rencan-rencananya bagi dominasi ekonomi jangka panjang terhadap Asia Timur dan Tenggara.[3] Kebijakan tersebut telah menimbulkan masalah baru di Indonesia. Perampasan paksa oleh tentara Jepang terjadi di mana-mana. Maka, seperti wilayah-wilayah pendudukan lainnya, Indonesia menjadi suatu negri yang tingkat penderitaan, inflasi, ketekoran, pencatutan, korupsi, pasar gelap, dan kematiaannya sangat ekstrem. Menurut Ricklefs, masa pendudukan Jepang adalah satu-satunya periode salama dua abad di mana jumlah penduduk tidak meningkat secara berarti.[4] Banyak rakyat tewas kelaparan, dan para wanitanya diperkosa atau dijadikan Jugun Ianfu.
Jugun ianfu adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada wanita penghibur yang terlibat dalam perbudakan seks selama Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah perang.[5] Pada kenyataannya Ianfu bukan merupakan perempuan penghibur tetapi perbudakan seksual yang brutal, terencana, serta dianggap masyarakat internasional sebagai kejahatan perang. Diperkirakan 200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang.[6] Keberadaan Jugun Ianfu pada saat itu sangat diperlukan oleh tentara Jepang. Dalam kondisi peperangan, kondisi tentara Jepang saat itu tentunya berada dalam keadaan yang labil. Terutama mengenai masalah mental dan moral tentara Jepang dalam menghadapi musuh-musuhnya. Jauh dari keluarga dan kekhawatirkan akan datangnya kematian dalam medan perang. Kondisi ini mengakibatkan tentara Jepang melakukan pelampiasan seksual secara brutal dengan cara melakukan perkosaan masal yang mengakibatkan mewabahnya penyakit kelamin yang menjangkiti tentara Jepang. Hal ini tentunya melemahkan kekuatan angkatan perang kekaisaran Jepang. Situasi ini memunculkan gagasan untuk merekrut perempuan-perempuan lokal, menyeleksi kesehatan dan memasukan mereka ke dalam Ianjo-Ianjo sebagai rumah bordil militer Jepang dan dijadikan Jugun Ianfu.[7]
   .
Keberadaan Jugun Ianfu di Indonesia
Kedatangan tentara Jepang ke Indonesia di tahun 1942 yang pada awalnya disambut dengan suka cita oleh segenap rakyat Indonesia, telah berubah menjadi duka cita. Kelaparan dan kebrutalan tentara Jepang menyebabkan meningkatnya tingkat kematian rakyat Indonesia. Penderitaan yang lebih dalam lagi, baik fisik maupun psikologi dialami oleh para Jugun Ianfu di Indonesia.
Berselang beberapa bulan setelah kedatangan tentara Dai Nippon atau tentara Jepang, mulai ada Jugun ianfu (wanita penyaman atau penghibur) dari Korea yang ditempatkan di restoran, bar atau club (dengan katana ditulis kurabu) Jepang. Di sana pada malam hari sering terdengar nyanyian, jeritan dan teriakan serta banyak yang keluar dari sana Serdadu Jepang yang mabuk dengan muka merah. Di kota-kota yang banyak tentara Jepang atau Nippon, restoran-restoran mulai menjamur[8], termasuk Ianjo-Ianjo (rumah bordil) yang didirikan di tempat yang banyak tentara Jepangnya. Kemudian, tidak lama berselang, dimulailah perekrutan Jugun Ianfu Indonesia.
Ianjo pertama di dunia dibangun di Shanghai, Cina tahun 1932. Pembangunan Ianjo di Cina dijadikan model untuk pembangunan Ianjo-Ianjo di seluruh kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia sejak pendudukan Jepang tahun 1942-1945 telah dibangun Ianjo diberbagai wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, Nusa Tenggara, Sumatra, Papua.[9]
Seperti yang sudah diterangkan di atas, Jugun Ianfu adalah wanita yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun waktu tahun 1942-1945.[10] Keberadaan Jugun Ianfu sendiri merupakan obat penawar tentara Jepang dalam menghadapi situasi perang yang dapat membuat kondisi psikologi tentara Jepang menjadi lemah. Oleh sebab itu, mereka bisa dikatakan sebagai para budak seks para tentara Jepang. Mereka adalah korban kekerasan seksual para tentara Jepang. Keberadaan Jugun Ianfu di Indonesia merupakan sebuah ironi bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Keberadaan Jugun Ianfu di Indonesia tidak lepas dari keberadaan tentara Jepang di Indonesia. Para wanita ini berasal dari wilayah-wilayah koloni Jepang,  termasuk Indonesia.
Jugun Ianfu tersebut berasal dari Korea Selatan, Korea Utara, Cina, Filipina, Taiwan, Timor Leste, Malaysia, dan Indonesia. Sebagian kecil di antaranya dari Belanda dan Jepang sendiri. Mereka dibawa ke wilayah medan pertempuran untuk melayani kebutuhan seksual sipil dan militer Jepang baik di garis depan pertempuran maupun di wilayah garis belakang pertempuran,[11] sekaligus menjadi penambah moril tentara Jepang dalam menjalani pertempuran di medan perang.
Untuk kasus di Indonesia, perekrutan para Jugun Ianfu dilakukan ada yang dengan cara penipuan maupun dengan jalan kekerasan. Setelah mereka terkumpul, mereka kemudian diseleksi kesehatannya dan dimasukan ke dalam Ianjo-Ianjo sebagai rumah bordil militer Jepang. Modus perekrutannya diantaranya adalah dengan dijanjikannya sekolah gratis, pekerjaan sebagai pemain sandiwara, pekerja rumah tangga, pelayan rumah makan dan juga dengan cara kasar dengan menteror disertai tindak kekerasan, menculik bahkan memperkosa di depan keluarga.[12]
Menurut mantan wanita penghibur yang masih hidup, ia menggambarkan rumah bordil Jepang sebagai tempat yang mengerikan. Wanita dibagi menjadi tiga atau empat kategori, tergantung lamanya pelayanan. Wanita yang paling baru yang lebih tidak mungkin terkena penyakit kelamin ditempatkan di kategori tertinggi. Namun, dengan berjalannya waktu, wanita penghibur diturunkan kategorinya karena kemungkinan terkena penyakit kelamin lebih tinggi. Ketika mereka dianggap terlalu berpenyakit untuk digunakan lebih lanjut, mereka diabaikan. Banyak wanita melaporkan uterus mereka membusuk dari penyakit yang diperoleh oleh ribuan lelaki dalam waktu beberapa tahun.[13]
Dalam pengakuan salah satu eks Jugun Ianfu Indonesia, yakni Mardiyem, di situ diterangkan bahwa pada tahun 1943, Mardiyem ketika itu masih seorang remaja berusia 13 tahun. Ia telah yatim piatu pada waktu itu. Ibunya meninggal ketika ia masih bayi dan ayahnya menyusul sepuluh tahun kemudian. Mardiyem kecil yang hobi menyanyi ini menyangka akan diajak masuk dalam kelompok sandiwara ketika tentara Jepang melakukan pendaftaran untuk anak-anak perempuan. Mardiyem kecil tidak merasa curiga ketika ia harus menjalani pemeriksaan kesehatan. Mardiyem bersama 48 anak perempuan lainnya dibawa ke Kalimantan atau Borneo pada waktu itu. Seminggu sesampainya di Banjarmasin Mardiyem tidak dipekerjakan di kelompok sandiwara tapi dimasukkan ke hotel Tlawang yang sebenarnya adalah rumah bordil. Mardiyem ditempatkan di kamar nomor 11 dan ia pun diberi nama baru, nama Jepang “Momoye”. Baru Mardiyem menyadari bahwa ia dan teman-temannya dijadikan apa yang disebutnya “orang nakal”. Tendangan dan pukulan seringkali diterima dari para tamunya apabila ia berani menolak permintaan tamu Jepangnya.[14]
Kasus lain menyatakan bahwa mereka diperkosa dan disiksa secara kejam. Dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara Jepang sebanyak 10 hingga 20 orang siang dan malam serta dibiarkan kelaparan. Kemudian di aborsi secara paksa apabila hamil. Banyak perempuan mati dalam Ianjo karena sakit, bunuh diri atau disiksa sampai mati.[15]
Menurut Hilde Jenssen, ada suatu kasus di suatu pulau, terjadi pembunuhan massal oleh tentara Jepang akibat adanya pembalasan dendam dari tentara Jepang karena penolakan masyarakat terhadap permintaan Jepang yang meminta untuk menyerahkan perempuan, begitu juga yang terjadi di Sumatera.[16] Menurutnya, untuk tidak mengurangi rasa hormatnya kepada para korban Jugun Ianfu, maka ia mnyebut mereka sebagai pekerja paksa seksual[17], sebab mereka semua bisa menjadi Jugun Ianfu atas dasar keterpaksaan. Siapa pun tidak akan ada yang senang dan rela jika menjadi Jugun Ianfu. Situasilah yang memaksa mereka untuk menjadi seorang Jugun Ianfu.

Kehidupan Eks Jugun Ianfu setelah Berakhirnya Perang Pasifik dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Setelah perang Asia Pasifik usai Jugun Ianfu yang masih hidup didera perasaan malu untuk pulang ke kampung halaman. Mereka memilih hidup ditempat lain dan mengunci masa lalu yang kelam dengan berdiam dan mengucilkan diri. Hidup dalam kemiskinan ekonomi dan disingkirkan masyarakat. Mengalami penderitaan fisik, menanggung rasa malu dan perasaan tak berharga hingga akhir hidupnya.[18]
Umumnya, mereka selalu dicap sebagai “bekas Jepang” oleh masyarakat sekitar. Mereka sudah terlanjur mendapat stigma negatif oleh masyarakat. Mereka dianggap sebagai pelacur. Padahal, mereka sendiri tidak ada yang berharap menjadi seorang Jugun Ianfu. Mereka menjadi Jugun Ianfu karena terpaksa.
Setelah berakhirnya Perang Pasifik, ada berbagai macam cerita mengenai perjalanan hidup eks Jugun Ianfu. Dalam penelitian yang dilakukan Hilde Jenssen, setelah berakhirnya masa Perang, ada eks korban Jugun Ianfu yang menjadi pemijat seperti ibu Emah. Ada juga yang berjualan apa adanya di kampung, seperti jualan gorengan. Bila tidak punya modal, mereka cari pekerjaan harian, seperti pembantu. Ada kelompok yang menikah dengan mantan tentara, kehidupan mereka cukup baik, karena mereka terima pensiun. Setidaknya menjadi basis dari pendapatan mereka, sehingga mampu menyekolahkan anak mereka. Seperti kasus di Kalimantan, dimana kehidupan cukup baik, seorang ibu mempunyai anak yang menjadi pegawai, menjadi tokoh masyarakat, kemudian saat ia sering diwawancara, dan terlihat potret dirinya, sempat membuat pertunangan cucunya tertunda kerena merasa malu, sebab foto nenek mereka muncul di koran-koran.[19]
Kebanyakan dari mereka hidup dengan perasaan menanggung malu. Sehingga, tidak hanya penderitaan secara fisik saja tetapi juga secara psikis. Karena ada sebagian dari mereka yang tidak bisa lagi mendapatkan keturunan karena kerusakan pada rahim. Atau ada yang menderita penyakit tertentu sebagai akibat dari menjadi seorang Jugun Ianfu yang berpengaruh pada fisik mereka. Menurut Hilde, mereka kemudian menjadi semakin tertekan dengan tidak dapat memiliki keturunan. Mereka menjadi teringat terus akan peristiwa masa lalu itu karena di Indonesia, anak sangat penting. Ada beberapa suami yang menceraikannya, ataupun para ibu itu yang mencerai suami mereka. Tapi bisa dilihat, mereka diceraikan karena tidak memiliki anak. Pada umumnya orang yang tidak memiliki anak, mereka miskin. Ada yang dibantu oleh anak angkat. Pada umumnya tidak punya anak, dan juga tidak selalu dibantu oleh keluarga.[20]
Hingga berpuluh-puluh tahun setelah Indonesia merdeka, nasib para Jugun Ianfu tidak pernah berubah. Justru pemerintah Indonesia sendiri menganggap Jugun Ianfu sebagai sebuah aib yang tidak perlu diceritakan. Khususnya sejak dimulainya kerja sama di bidang politik dan ekonomi yang dimulai pada rezim Soeharto. Menurut Hilde, pemerintah terlalu takut dan sangat bergantung kepada Jepang dalam hal perekonomian.[21] Pemerintah Indonesia menganggap masalah Jugun Ianfu sudah selesai, bahkan mempererat hubungan bilateral dengan Jepang paska perang Asia Pasifik. Namun hingga kini banyak organisasi non pemerintah terus memperjuangkan nasib Jugun Ianfu dan terus melakukan melobi ke tingkat internasional untuk menekan pemerintah Jepang agar menyelesaikan kasus perbudakan seksual ini. Kemudian upaya penelitian masih terus dilakukan untuk memperjelas sejarah buram Jugun Ianfu Indonesia,berpacu dengan waktu karena para korban yang sudah lanjut usia. Sehingga, pemerintah tidak pernah memperhatikan permasalahan Jugun Ianfu.[22]
Padahal, mereka ini juga termasuk korban perang. Justru secara psikis, merekalah yang paling merasa menderita. Banyak masyarakat yang merendahkan, serta menyisihkan para korban dari pergaulan sosial. Kasus Jugun Ianfu dianggap sekedar “kecelakaan” perang dengan memakai istilah “ransum Jepang”. Mencap para korban sebagai pelacur komersial. Banyak juga pihak-pihak oportunis yang berkedok membela kepentingan Jugun Ianfu dan mengatasnamakan proyek kemanusiaan, namum mereka adalah  calo yang mengkorupsi dana santunan yang seharusnya diterima langsung para korban.[23]
   Berikut adalah beberapa tuntutan dari para korban Jugun Ianfu:
1.    Pemerintah Jepang masa kini harus mengakui secara resmi dan meminta maaf bahwa perbudakan seksual dilakukan secara sengaja oleh negara Jepang selama perang Asia Pasifik 1931-1945.
2.    Para korban diberi santunan sebagai korban perang untuk kehidupan yang sudah dihancurkan oleh militer Jepang.
3.    Menuntut dimasukkannya sejarah gelap Jugun Ianfu ke dalam kurikulum sekolah di Jepang agar generasi muda Jepang mengetahui kebenaran sejarah Jepang.
Hingga saat ini, belum ada pengakuan secara resmi dari pemerintah Jepang terhadap kejahatan perang yang dialami para korban Jugun Ianfu. Pemerintah Jepang menganggap bahwa Jugun Ianfu adalah para pelacur yang bersedia dengan suka rela untuk menjadi Jugun Ianfu.

Kesimpulan
Jugun Ianfu adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada wanita penghibur yang terlibat dalam perbudakan seks selama Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah perang. Jugun ianfu merupakan wanita yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun waktu tahun 1942-1945. Keberadaan Jugun Ianfu di Indonesia tidak lepas dari keberadaan tentara Jepang di Indonesia. Saat ini saja ada sekitar 1500 korban eks Jugun Ianfu yang diperkirakan masih hidup. Sedangkan lainnya kemungkinan telah meninggal dunia.
Perekrutan para Jugun Ianfu dilakukan dengan cara penipuan maupun dengan jalan kekerasan. Mereka kemudian diseleksi kesehatannya dan dimasukan ke dalam Ianjo-Ianjo sebagai rumah bordil militer Jepang. Bagi para tentara Jepang yang berada di pedalaman yang jauh dari rumah-rumah bordil, mereka melakukan pemaksaan kepada rakyat untuk segera menyerahkan perempuan-perempuan yang ada. Atau ada yang melakukan pemerkosaan secara masal terhadap perempuan-perempuan yang bisa mereka temukan di wilayah-wilayah yang di duduki oleh tentara Jepang.
Hingga saat ini, kehidupan korban Jugun Ianfu tetap menderita. Selain karena tekanan psikis dan stigma negatif yang diberikan masyarakat sebagai “bekas Jepang”, mereka juga tidak mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia sendiri. Hanya yayasan-yayasan yang memberikan perhatian khusus saja yang mencoba untuk memperuangkan nasib para korban Jugun Ianfu dan permohonan maaf secara resmi dari pemerintah Jepang yang sampa saat ini tidak mau mengakui keberadaan Jugun Ianfu.

Daftar Pustaka
Kurosawa, Aiko. 1993. Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Grasindo.
Ojong. 2001. Perang Pasifik. Jakarta: Kompas.
Ricklefs. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.

Internet
http://www.vhrmedia.com/
http://ianfuindonesia.webs.com/
http://ilhamfadli.blogspot.com/2011/04/kebisuan-jugun-ianfu-indonesia.html
http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/category/tags-bahasa-indonesia/kisah-momoye
http://www.metrotvnews.com/
http://etnohistori.org/
http://maulanusantara.wordpress.com/
http://fajarriadi.com/
http://aalmarusy.blogspot.com/2011/04/jugun-ianfu-dan-pelecehan-wanita-dalam.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Jugun_Ianfu




[1]     Ojong, Perang Pasifik (Jakarta: Kompas), hlm. 1-17.
[2]     Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 2008 (Jakarta: Serambi), hlm. 421-422.
[3]     Ibid., hlm 424.
[4]     Ibid., hlm. 425.
[5]     http://id.wikipedia.org/wiki/Jugun_Ianfu
[6]     http://ianfuindonesia.webs.com/
[7]     http://maulanusantara.wordpress.com/
[8]     http://aalmarusy.blogspot.com/2011/04/jugun-ianfu-dan-pelecehan-wanita-dalam.html
[9]     http://maulanusantara.wordpress.com/
[10]    http://id.wikipedia.org/wiki/Jugun_Ianfu
[11]    http://maulanusantara.wordpress.com/
[12]    Ibid.
[13]    http://id.wikipedia.org/wiki/Jugun_Ianfu
[14]    http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/category/tags-bahasa-indonesia/kisah-momoye
[15]    http://maulanusantara.wordpress.com/
[16]    http://etnohistori.org/
[17]    Ibid.
[18]    http://maulanusantara.wordpress.com/ pada 31 Januari 2011
[19]    http://etnohistori.org/
[20]    Ibid.
[21]    Ibid.
[22]    http://maulanusantara.wordpress.com/
[23]    Ibid.